Minggu, 29 November 2009

Bila Orang Miskin (Dilarang) Sakit

Pikiran ini terjadi dikala saya tengah dinas jaga di UGD.
Ini terjadi ketika seorang pasien, sebut saja Tn A, datang ke UGD karena kepalanya tertimpuk batu dan kulit kepalanya robek. Dan seperti SOP yang ada, saya dan rekan melakukan tindakan penjahitan. Setelah itu datanglah isterinya yang dengan begitu menangis dan meratapi suaminya yang terbaring dengan verband di kepalanya. Memang dasar pikiran saya yang terlalu dangkal, saya sempat bertanya dalam hati, "Mengapa ia menangis begitu hebat? Padahal suaminya sudah tidak apa-apa. Nyawanya tidak terancam lagi."

Dan saya pun mendengar percakapan mereka, "Mas, saya nanti akan minta pertanggungjawaban mereka.", tukas isterinya seraya menangis. "Mas tunggu di sini aja". Dan isterinya pun meninggalkan UGD.

Waktu berjalan dan Tn A hanya terkulai di atas brankar. Dan sekira-kiranya 4 jam berlalu, isterinya datang ke UGD lagi. Saya hanya menatapi dari jauh, isterinya menangis lagi sambil menunjukkan bon rumah sakit dan beberapa lembaran lima puluh ribuan. Dan setelahnya, isterinya menghampiri saya, "Dok, ini saya mau membayar. Saya dan suami ingin pulang." Dan dia menyerahkan bon dan uang yang tergulung di dalamnya. Saya membuka dan saya menemukan bahwa uang yang ada kurang Rp 30.000,00 dari biaya yang tercantum. Dan ketika itu isterinya berkata lagi, "Dok, suami saya kerja bangunan. Dan sekarang sedang tidak ada kerja. Ini yang kami punya." Saya pun memberikan bon itu ke petugas administrasi yang ada. Dan kami pun berdiskusi untuk bagaimana agar mencukupi. Memang, tak pelak pada dasarnya biaya pun mahal dan bagaimana diatur agar mereka pun tak terbebani.

Isterinya pun kembali mendekati suaminya dan menangis lagi.

Dilarang Sakitkah Mereka?
Memang sebuah hal yang miris ini masih kerap terjadi pada mereka yang hidup di Indonesia ini. Kekurangan biaya untuk kehidupan primer mereka. Apalagi mereka harus menangani hal-hal yang di luar perkiraan mereka seperti kecelakaan ini? Dan ketika berhubungan dengan kesehatan dan nyawa, apakah mereka memiliki hak yang sepadan dengan mereka yang berobat sakit perut di Singapura?

Saya sempat terlintas untuk berpikir, bagaimana kalau saya mengambil dari kocek saya untuk menalangi biaya mereka? Mungkin saja, hal ini solusi tercepat. Tapi hal ini bukanlah solusi yang terbaik.

Mereka yang hidup dengan antara $1 dan $2 setiap harinya harus menanggung beban yang berat. Tidak ada jaminan bagi mereka. Tidak ada suatu sistem yang dapat melindungi mereka. Mereka pun hanya akan hidup dalam lingkaran setan yang hanya akan kian menjerat. Kemanakah sistem itu? Siapa yang harus melindungi mereka?

Dan lantas saya berpikir lagi.

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. NEGERI PENUH DENGAN KETIMPANGAN ; ORANG MISKIN VS ORANG KAYA


    Fenomena menarik terjadi dipenhujung tahun ini. Setelah gonjang-ganjing menyoroti masalah penegakan hukum, kini guncangan kembali terjadi, kali ini dalam dunia ekonomi. Yaitu dirilisnya daftar 40 orang terkaya di Indonesia oleh majalah bisnis Fobes.

    Dari laporan terbaru majalah tersebut, rata-rata nilai total kekayaan mereka naik dunia kali lipat bila dibandingkan bulan desember tahun 2008. Dari US$ 21 miliar (sekitar Rp. 197,4 triliun) menjadi US$ 42 miliar (sekitar 394,8 triliun) tahun 2009.

    Tentunya ini akan menjadi bekal positif bagi pelaku perekonomian untuk menapaki tahun depan.

    40 Orang Terkaya Indonesia
    1 (1-2). R. Budi & Michael Hartono US$ 7 miliar
    2 (5). Martua Sitorus US$ 3 miliar
    3 (12). Susilo Wonowidjojo US$ 2,6 miliar
    4 (9). Aburizal Bakrie US$ 2,5 miliar
    5 (8). Eka Tjipta Widjaja U$S 2,4 miliar
    6 (6). Peter Sondakh US$ 2,1 miliar
    7 (4). Putera Sampoerna US$ 2 miliar
    8 (1). Sukanto Tanoto US$ 1,9 miliar
    9 (11). Anthoni Salim US$ 1,4 miliar
    10 (20). Soegiharto Sosrodjojo US$ 1,2 miliar
    11 (25. Low Tuck Kwong US$ 1,18 miliar
    12 (7). Eddy William Katuari US$ 1,1 miliar
    13 (13). Chairul Tanjung US$ 999 juta
    14 (23). Garibaldi Thohir US$ 930 juta
    15 (24). Theodore Rachmat US$ 900 juta
    16 (26). Edwin Soeryadjaya US$ 800 juta
    17 (14). Trihatma Haliman US$ 750 juta
    18 (baru). Ciliandra Fangiono US$ 710 juta
    19 (15). Arifin Panigoro US$ 650 juta
    20 (10). Murdaya Poo US$ 600 juta
    21 (baru). Hashim Djojohadikusumo US$ 500 juta
    22 (baru). Kusnan & Rusdi Kirana US$ 480 juta
    23 (27). Prajogo Pangestu US$ 475 juta
    24 (18). Harjo Sutanto US$ 470 juta
    25 (17). Mochtar Riady US$ 440 juta
    26 (39). Eka Tjandranegara US$ 430 juta
    27 (40). Ciputra US$ 420 juta
    28 (22). Hary Tanoesoedibjo US$ 410 juta
    29 (baru). Sandiaga Uno US$ 400 juta
    30 (baru). Boenjamin Setiawan US$ 395 juta
    31 (34). Alim Markus US$ 350 juta
    32 (21). Aksa Mahmud US$ 330 juta
    33 (31). Sutanto Djuhar US$ 325 juta
    34 (32). Kartini Muljadi US$ 320 juta
    35 (33). Soegiarto Adikoesoemo US$ 300 juta
    36 (35). George & Sjakon G Tahija US$ 290 juta
    37 (28). Paulus Tumewu US$ 280 juta
    38 (19). Husein Djojonegoro US$260 juta
    39 (baru). Bachtiar Karim US$ 250 juta
    40 (36). Kris Wiluan US$ 240 juta

    Ket: Angka dalam kurung peringkat tahun lalu.

    POTRET KETIMPANGAN SOSIAL

    Kemakmuran adalah tujuan pembangunan dan kemiskinan adalah kegagalannya. Bila kita liat daftar 40 orang terkaya tersebut, keadilan sosal yang selama ini kita damba-dambakan seakan-akan sudah tercapai. Namun disisi yang lain, kemiskinan merupakan wajah yang tidak dapat disembunyikan.

    Bila kita mengukur distribusi kekayaan dengan indeks Gini, akan semakin terlihat jelas jurang perbedaan antara sikaya dengan simiskin.

    Data BPS tahun 1998, Indeks Gini berada pada angka 0,32. Tahun 1999, naik menjadi 0,33. Terakhir pada 2005, naik lagi menjadi 0,34. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan maka semakin buruk distribusi pendapatanya. Dengan jelas terlihat jurang perbedaan antara orang miskin dengan orang kaya semakin melebar.

    Ironi!!! negeri yang banyak memproduksi Orang-orang kaya, ternyata banyak juga menghasilkan orang-orang miskin.

    Kekaaan para Taipan dari tahun ke tahun terus merangkak naik, Jutaan orang-orang miskin dan ribuan pengangguran pun juga makin tinggi.

    Akhirnya sulit bagi kita untuk tidak menyebut "kita adalah bangsa yang penuh dengan ketimpangan dan kepincangan."

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: