Jumat, 05 Maret 2010

Hadiah dan Doa Pasien

No greater opportunity, responsibility, or obligation can fall to the lot of a human being than to become a physician. In the care of the suffering, [the physician] needs technical skill, scientific knowledge, and human understanding. . . .
–Harrison's Principles of Internal Medicine, 1950

Ini adalah sebuah tulisan di malam hari di dalam dinas jaga malam di bangsal interna. Di kala 4 jam lagi matahari akan segera terbit. Seharusnya kini saya dalam jatah tidur saya sebelum harus bangun untuk melakukan follow-up pasien.

Ada sebuah hal yang menarik, sebuah hal yang pertama terjadi pada saya. Sebuah hal yang akan diingat dalam karir saya.

Adalah sebuah hal yang tidak disengaja atau direncanakan. Syahdan, seorang rekan saya mau memfollow-up pasien di bangsal lain yang tengah melakukan rawat bersama antara interna dan bedah. Saya hanya menawarkan diri untuk ikut. Ya, sekedar menyertai saja. Setelah itu di bangsal bedah, tampak seorang yang menuju usia tuanya. Berambut putih, berbadan tegap. Ia baru saja dua hari yang lalu melakukan TURP, sebuah operasi untuk membantunya mengatasi pembesaran prostat jinaknya. Dia begitu tenang, tersenyum, dan mempersilahkan kami. Tak lama hanya berbasa-basi, kemudian ia berkisah akan kejadian masa kecilnya, di tahun 1942. Ketika ia berpencar karena sebuah khaos dalam lingkungannya. Saya sendiri tidak begitu mengerti dan saya hanya mengangguk, tanda saya tengah menyimak. Tak lama ia berceloteh, "Kalau kalian sudah menjadi dokter yang sukses, kelak saya akan berkisah bahwa saya pernah dirawat oleh kalian." Sebuah doa yang baik. Sebuah kata yang terus terang jarang saya dengar dari pasien, apalagi kepada kami, para dokter muda.

Tak hanya sampai di situ, tiba-tiba ia bertanya di mana kami tinggal, saya menyebut bahwa saya orang dari Kalimantan, dan kisah pun terus berlanjut hingga legenda yang pernah ia dengar mengenai seorang dokter asing di pedalaman gunung Kalimantan. Kadang pembicaraan tidak ada kaitannya, namun semua berjalan begitu lancar. Memang berbicara seperti ini, masih lebih sulit bila anamnesis. =)

Kemudian rekan saya ingin meminta pendapat soal rhonkinya. Dan di tengah saya memeriksa, ia tiba-tiba mengambil sesuatu dari lacinya. Ternyata, dua buah apel dan jeruk yang ia tak makan. Kami sempat kaget, bahwa ini akan diberinya. Siapa kami, sehingga ia berbuat demikian? Dan kami pun berterima kasih atas pemberian kecilnya. Terkadang mungkin terlihat aneh, namun bagi saya sendiri, ini memiliki arti.

Kemudian saya pun turun, kembali ke bangsal, dan menghampiri pasien yang menjadi penanganan saya di atas pengawasan konsulen. Seorang ibu muda, yang tengah sakit. Saya hanya berbasa-basi, kemudian berlanjut menjadi bercerita, dan hingga sesuatu yang tidak ada dalam alur anamnesis apapun. Beberapa hal yang tak pernah ia sampaikan pada siapapun dan ia pendam sendiri, tercurah. Hal yang sudah saya tulis di status, ada beberapa yang perlu direvisi karena fakta. Hingga di akhir bercerita, ia mengatakan, "Terima kasih dok, sudah mendengarkan." Saya merasa sesuatu yang berbeda dari ucapan ini. Sesuatu hal yang agak chauvinik sebenarnya. Saya merasa bahwa saya pun bermain peran dalam hidupnya, dan untunglah peran yang memberi arti dan baik baginya.

Inilah yang berkesan bagi saya pada jaga malam kali ini. Dan saya pun terus berharap agar saya pun dapat kelak memberi kontribusi positif pada mereka.

Tact, sympathy, and understanding are expected of the physician, for the patient is no mere collection of symptoms, signs, disordered functions, damaged organs, and disturbed emotions. [The patient] is human, fearful, and hopeful, seeking relief, help, and reassurance.
–Harrison's Principles of Internal Medicine, 1950

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: