Kamis, 02 September 2010

Dokter Muda (Koas): Benarkah Mereka itu Sombong Sekali?

Ada sebuah tulisan yang cukup menghebohkan dunia kedokteran, terutama pendidikan dokter. Tulisan yang dimuat di kompasiana itu berjudul Para Calon Dokter itu Sombong Sekali yang ditulis oleh Afandi Sido. Penulis blog itu menuturkan tanggapannya atas apa yang ia lihat dan rasakan terhadap dokter-dokter muda yang ada di salah satu RS di Yogyakarta. Ia merasakan dari sisi awam bahwa dokter-dokter muda menyebabkan kesenjangan sosial dan cenderung eksklusif, tidak memiliki rasa empati terhadap pasien dan orang-orang sekitar.

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memberikan tanggapan dari sisi dokter muda mengenai tulisan dan berbagai streotipe yang beredar di masyarakat. Semoga dapat memberi cakrawala lain bagi tulisan tersebut. Dan tentu tulisan ini adalah opini dan argumentasi.

 

Menjadi dokter adalah sebuah cita-cita bagi banyak orang. Menjadi dokter juga adalah sebuah impian, harapan bagi berbagai idealisme. Baik idealisme menolong orang lain, memenuhi harapan keluarga, hingga mengangkat harkat martabat keluarga. Apapun itu dasarnya, tidak bisa dielakkan, tidak bisa diubah, dan itulah keunikan setiap individu yang ingin menjadi dokter.

 

Menjadi dokter pula bukan berarti tanpa biaya. Namun juga bukan berarti biayanya murah. Memang sebuah fakta, bahwa menjadi dokter, di Indonesia, adalah barang yang mahal. Kocek memang harus diraba lebih dalam. Hal ini membuat asumsi masyarakat bahwa FK (Fakultas Kedokteran) adalah Fakultas Kaya. Saya kira suatu hal yang masuk akal saja bahwa orang yang mampu secara ekonomi dapat masuk FK, toh dia mampu-mampu saja. Dan tentu saja dibalik itu orang yang tidak mampu, tidak boleh tidak dapat masuk FK karena terdapat banyak jalur pembiayaan pendidikan termasuk beasiswa. Yang jelas kedua-duanya, baik yang kaya atau tidak mampu, memiliki satu kesamaan yang tidak dimiliki orang lain, yaitu kemampuan akademik yang tepat untuk menjadi dokter. Itu saja. Maka saya kira masalah pundi-pundi bukan alasan untuk masuk FK.

 

Menjadi dokter harus melalui dua tahap pendidikan, yaitu praklinik dan kepaniteraan klinik. Praklinik adalah menjalani kuliah-kuliah selama 3,5 tahun-4 tahun dan setelah menyelesaikannya akan diberi gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Seorang S.Ked belum dapat menjadi dokter. Sama seperti Seorang SE (Sarjana Ekonomi) belum dapat menjadi akuntan. Seorang SH (Sarjana Hukum) belum dapat menjadi advokat atau notaris. Maka seorang S.Ked harus menjalani kepaniteraan klinik atau koas (dari kata ko-asisten, artinya jelas sebagai asisten dokter, bukan dokter) atau periode dokter muda selama 1,5-2 tahun. Setelah itu, dengan kurikulum baru dan kebijakan baru harus melewati masa internship selama 1 tahun dengan STR sementara, sebelum itu menjalani UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia). Baru dapat mengajukan STR tetap dan SIP sesuai dengan UU Praktik Kedokteran. Baru dapat praktik mandiri sebagai dokter.

 

Menjadi koas. Menjadi koas adalah suatu periode pendidikan dokter yang ditekankan pada penerapan (aplikasi) teori-teori yang sebelumnya sudah didapat dari periode praklinik. Menjadi koas bukanlah menjadi dokter mandiri. Koas memiliki hak dan kewajibannya sendiri dan serupa-tak-sama dengan hak dan kewajiban dokter. Koas dan dokter punya kewajiban untuk menghormati pasien, bersikap profesional sesuai keilmuan, dan lainnya. Namun koas tidak ada hak untuk berpraktik mandiri. Semua apa yang dilakukan koas harus berada dibawah supervisi dokter pembimbingnya. Namun dibalik itu mereka pun dituntut untuk memiliki profesionalisme layaknya dokter mandiri. Jadi, saya kira ketika masyarakat awam berhadapan dengan koas, maka sudah sesuai aturan yang ada, bila mereka tidak dapat menegakkan diagnosis dan memberi terapi secara mandiri di depan pasien tanpa dikonsultasikan dengan pembimbingnya.

 

Menjadi koas memang posisinya seperti serba tanggung. Mereka menganamnesa pasien, memeriksa pasien, kemudian baru dilaporkan ke pembimbing, dan diricek ulang pembimbing, baru dapat ditegakkan diagnosis oleh pembimbing. Memang tampak ribet, dan tidak seperti ke dokter biasa yang bisa dilewati proses oleh dokter muda langsung ke dokter praktiknya. Hal ini tidak jarang memberi kesan bagi pasien, apakah saya jadi bahan percobaan? Tentunya di sini perlu ada kesepahaman antara dua pihak. Koas perlu bersikap profesional dan memberi rasa nyaman sehingga pasien tidak dirugikan. Dan sebaliknya pasien perlu paham bahwa dirinya bukanlah kelinci percobaan, tetapi dirinya terlibat sebagai guru bagi koas sehingga koas pun bisa mengembangkan dirinya untuk menjadi dokter yang baik kelak. Apakah masyarakat mau punya dokter yang selama hidupnya hanya melakukan tindakan dengan boneka saja?

 

Apakah pasien harus takut bila diperiksa koas? Ini kembali lagi kesepahaman. Koas harus bersikap profesional, rasional, dan sesuai dengan janji hipokratiknya untuk "First do no harm -- Yang terutama, jangan mencelakakan orang". Kemudian ia menerapkan apa yang ia pelajari sesuai dengan standar ilmu yang ada. Di dalam proses dunia fana ini, mungkin terjadi kesalahan. Misalnya koas yang menginfus pasien menyebabkan bengkak di tempat penusukan dan akhirnya penusukan infus diberikan ke pembimbing. Ingat bahwa semata-mata, koas tidak ada niat mencelakakan pasien, ia berusaha yang terbaik bagi pasien. Kesalahan yang ada bukan disengaja. Tindakan-tindakan ini memerlukan pengalaman yang tak hanya sekali. Seperti anak yang belajar berjalan, apakah ia dapat tanpa tejatuh atau tertatih dahulu?

 

Menjadi koas, seperti yang disebutkan, perlu mengedepankan rasa profesionalisme layaknya dokter praktik. Harus mampu menempatkan diri dan sikap yang sesuai. Jelas dokter muda tidak boleh terlihat asyik bermain game di depan pasien. Dokter muda tidak boleh diam saja ketika pasien memerlukan pertolongan. Dokter muda tidak boleh terlihat cengengesan di depan pasien. Ya, ini layaknya seorang dokter.

 

Selama hampir 1 tahun saya menjadi koas, saya merasakan banyak pengalaman menjadi dokter muda. Baik dari yang diacuhkan pasien karena saya seorang dokter muda, namun tidak sedikit saya mendapat pengalaman berharga bersama pasien. Banyak pasien yang juga senang terhadap dokter muda, karena mereka dapat mencurahkan isi hatinya lebih banyak, karena mereka dapat bertanya lebih banyak. Karena dengan dokter mudalah yang lebih sering berinteraksi dengan mereka daripada dokter konsulen dan perawat. Karena dokter mudalah yang sering menjawab bel panggilan mereka ketika infus mereka macet. Karena dokter mudalah yang seharian membantu memberi napas bantuan melalui kantung ambu ketika pasien tidak mampu membayar ICU. Dokter mudalah yang menghitung detail air minum dan air kencing pasien yang gagal jantung. Dan tentunya ini berakhir dengan ucapan: "Terima kasih dokter" kepada dokter muda itu.

 

Apa kesimpulannya? Antara pasien dan koas perlu ada kesepahaman, perlu ada rasa menghargai dan menghormati satu sama lain. Eksistensi keduanya saling diperlukan. Pasien tidak perlu lagi merasa dirinya kelinci percobaan. Koas tidak perlu merasa pasien adalah duri dalam daging. Tetapi keduanya saling merasa membutuhkan sehingga menghasilkan hubungan yang mutualisme satu sama lainnya.

 

 

58 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Wah, artikel argumentatif yang bagus bung hau..

    Di mana-mana sudut pandang yang berbeda itu selalu ada. Bukan untuk saling meniadakan namun saling melengkapi.

    Semangat!!

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Saya setuju dgn tulisan bro kevin.
      Saya doakan supaya anda menjadi dokter yg berdedikasih trhadap pasien dan tidak memandang stts pasien miskin atau kaya.

      Hapus
  3. Gak sombong kok, malah selalu nurut klw disuruh ama resident.

    nice posted, please add my link into ur blogroll N follow me
    http://djendral-berbagi.blogspot.com/2010/01/kehamilan-dua-janin-atau-lebih.html

    BalasHapus
  4. @Kevin dan Djendral: Trims atas tanggapannya.

    @Kevin: Kebetulan saya di FKS di Jakarta. Agaknya pendidikan ini paradoks ya: kita diminta untuk rendah hati, namun masih ada pula yang tinggi hati. Ya, mungkin dikembalikan lagi setelah pendidikan ini, ingin menjadi dokter yang seperti apa ya. =P

    BalasHapus
  5. Setuju sama bung Hau :)
    saya seorang anak SMA yang bercita-cita menjadi dokter. jadi bisa belajar dari artikel ini, bahwa semuanya butuh kesepahaman, dan butuh HATI yang tulus...
    nice post bung!!!!

    BalasHapus
  6. Terima kasih dan saya juga berharap cita2 Anda tercapai ya :)

    BalasHapus
  7. uda ngadain survey? brp persen dokter muda yg seperti itu? harusnya sebelum menulis artikel diadakan survey dulu.. ini masak baru 1 rumah sakit, 10 Dokter muda, udah men judge SEMUA dokter muda se-indonesia kayak gini?

    Ane sbagai DM melihat teman2 saya memang ada yang seperti itu.. tp hanyalah 5-10% dimana itu anak2 orang kaya, yang hanya kejar profesi nya saja untuk semata-mata kedudukan tinggi.. Itu pun menurut saya terserah mereka. yang penting adalah diri kita masing2 untuk dapat membantu. Dokter muda klo di RS saya lebih RENDAH kedudukanya dari cleaning service bos ^_^ . Perawat itu lebih tinggi dari kita, ilmu praktek nya masih banyak. Pastilah kita hormati.

    Jadi intinya.. jangan judge orang sebelum ada survey dan bukti otentik, sebelum anda merusak pandangan orang mengenai Dokter Muda... Kalo memang semua orang Judge DM, dan DM ga bisa belajar secara maksimal, ga bakal ada Dokter Tua yang jago2 kayak skrg. sip

    BalasHapus
  8. Saya adalah seorang tukang fotocopy dekat RS. Pelanggan saya banyak koas2 spt itu. Mereka memang rata-rata sombong, notabene mereka "ANAK" orang kaya, terutama yang berplat B (banyak image kurang sopan santun). Mereka biasanya emoh lepas sepatu/sendal, meskipun hujan becek lumpur, yg lepas biasanya anak2 AKper/Akbid dan dari daerah2. Mereka Kalau nyuruh seenak udelnya, maunya cepet2, gak peduli org repot. Macam orang stress dan buru2. Padahal setelah itu mereka cuma mau BBM-an & FB an. Sibuk ngrumpi n ngobrol sana-sini. Mau tau tradisi yg sudah2?? Mereka rata-rata kalau dateng selalu ketinggalan barang, entah itu flashdisk, payung, makalah, kunci kos2an, dll. (Semoga kelak tidak ketinggalan gunting di perut).

    Apakah semua seperti itu? tidak juga, ada mbak2 dan mas2 yg alim, tenang, kalem, meskipun gonta-ganti mobil, mereka juga tetep santun. Bahkan kami iseng-iseng menilai2...nha yg ini calon dokter yg siiip.

    BalasHapus
  9. bener banget bung
    mampir ke blog ane donk
    www.dokterdesa.com

    BalasHapus
  10. apa anda yakin koas memasang infus???itu kan tugas perwat??benerin infus macet dilapangan jg perawat yang melakukan,,,masa si koas yg nglakuin,saya ragu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yakinnn.... Karena saya pernah koas dan saya yang memasang infus..pasang ngt... Gantiin cairan infus.. Kerja sama dg mhsiswa perawat juga...saya koas tpi sya udah biasa mgerjain hal yg dilakuin perawat krna sbg calon dokter ug baik harus bisa melakukan itu ������������ ahaha

      Hapus
  11. @Estymooo: Saya tidak tahu di tempat lainnya. Di almamater saya dulu, kami diajarkan untuk memperhatikan pasien secara komprehensif. Memasang infus termasuk kompetensi seorang dokter dan ada ujian praktiknya.

    BalasHapus
  12. @estymooo: gw uda puluhan kali kok masang infus..btw gw bru kelar koass. Anda koass apa bukan?saya ragu anda koass!!

    BalasHapus
  13. @Ephenk: terima kasih atas commentnya. Ditunggu comment2 di tulisan lain hehehe. Btw, udah kelar koas lagi nunggu UKDI?

    BalasHapus
  14. Hai Saudara Haurissa,
    wah terimakasih tulisannya memberi saya masukan positif mengenai koas. Anak perempuan saya yang akan menjalani koas mulai bulan April 2013 ini nanti. Saya pingin tahu banyak apa saja yang akan dikerjakan oleh koas, dan tulisan Anda memberi masukan itu. Saya pikir Saudara akan menjadi dokter yang baik, sukses ya. God bless.

    BalasHapus
  15. Terima kasih pak atas apresiasinya. Senang sekali kalau tulisan ini bermanfaat. Kini saya ditugaskan menjadi dokter di pedalaman Kalimantan Barat. Ya, memang suka dukanya menjadi dokter di Indonesia ini sangat menarik hehehehe.

    Salam untuk putrinya dan tetap semangat menjalani apa yang ada untuk menjadi seorang dokter. :)

    BalasHapus
  16. Topik bahasan yang cukup menarik yang ditulis oleh dr.Haurissa.
    Kebetulan saya surfing dan menemukan kalimat menarik "Dokter muda: benarkah mereka itu sombong sekali?"
    Ini topik yang menarik untuk dihasah secara kontinua dan ditelaah agar kedua pihak, ko-ass maupun masyarakat lebih mengerti.
    kalau menurut saya, wayak seseoranglah yang berpengaruh untuk menentukan image ko-ass.
    Akan tetapi oknum ko-ass yang kurang baik attitudenya akan menjadi tergeneralisasi, dimana hal ini merugikan kawan-kawan ko-ass yang tidak demikian.
    yang perlu diperhatikan adalah yang membentuk watak adalah berasal dari keluarga, jadi keluarga yang anaknya menjalani pendidikan kedokteran disarankan mendidik agara calon dokter tersebut meiliki attitude yang baik.
    Di kampus, dimana adanya sistem senioritas juga membantu agar sang ko-ass dapat dibentuk untuk memiliki attitude yang baik.
    Kawan setingkat juga memiliki kewajiban yang demikian.
    Di lain sisi, masyarakay awam harus menghargai ko-ass yang sudah menempuh pendidikan yang dama dan bersusah payah agar lulus, karena lulusnya bukan sekedar lulus saja, tetapi memiliki tanggung jawab yang besar terhadap nyawa manusia. Jika pasien diperiksa akan tetapi tidak informatif dan ikhlas untuk diperiksa, maka diagnosa yang didapat oleh ko-ass akan bias juga.
    Ko-ass walau tidak meiliki tanggung jawab secara hukum, tetap harus mempunyai tanggung jawab secara moral dalam melaksanakan kewajibannya.
    Mari kita tingkatkan kwalitas dan integritas dokter di Indonesia.

    BalasHapus
  17. Pengalaman saya ketika adik saya dirawat di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan , semua dokter muda yang ada di sana sangat baik dan perhatian kepada pasien ,:)
    Nice post dr. haurissa , semoga anda menjadi dokter yang the best

    BalasHapus
  18. Assallamualaikum,,, pengalaman dan penilaian saya sebagai keluarga pasien hari ini tentang dokter2 muda ternyata cukup membuat saya tersenyum,,, setiap jam 6 pagi Anak saya diperiksa oleh anak2 koas,,dan setiap itu pula banyak penilaian beragam,, saya nilai mereka kebanyakan "sombong" karena gugup sehingga ada terkesan "sombong" .. Memang sih banyak juga anak2 Orkay yang benar2 sombong :) ... Apalagi jika ada family mereka yg sudah "jadi orang" ,,, yah kita kembalikan ke individu masing2 ,, dokter perawat dan bidan ataupun tenaga kesehatan lainnya hanya berperan sebagai "PENGANALISA" suatu penyakit ataupun masalah kesehatan, sembuh atau tidak sembuh tergantung kepada Tuhan, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdo'a,,, maju terus dunia kedokteran indonesia, tingkatkan profesionalisme kerja !!! Jadilah tenaga kesehatan yg selalu disayang masyarakat :)

    BalasHapus
  19. Terima kasih pak Iman atas komentarnya :)

    BalasHapus
  20. Nice posting dr. Hau :)
    saya seorang mahasiswa kedokteran dan kalau lancar tahun 2014 ini sudah memasuki dunia koas :)
    Mungkin nanti bakal nemuin sejawat koas2 yang sedikit "sombong"
    Yang pasti yang saya tau di dunia kedokteran attitude itu sangat ditekankan. jika ada koas yang attitudenya kurang baik, yah kembali ke pribadinya masing2. Beda2 org, beda watak dan perilakunya.

    Thanks dokter. Semoga sukses ke depannya yaa :)

    BalasHapus
  21. Yang penting bagaimana pribadi kita untuk melakukan yang terbaik... Menjadi apapun kita...

    http://benviemedicshop.com/

    BalasHapus
  22. Nice share Dr hau,saya juga pernah dapet cerita bahwa biasanya yg koas itu ada yg sombong banget,terkdang mereka menganggap remeh terhadap perawat.yaah ini juga pengalaman dri mantan saya dulu.dan sekarang pacar saya juga koas,ternyata yg koasnya aja bilang ada beberapa yg sombong so kaya. ayolah semoga kedepannya gak sombong dengan perannya sebagai apa. saya yakin yg menjadikan mreka sombong iu karena dokternya itu . semangat !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas apresiasinya :) Tetap semangat juga :)

      Hapus
  23. Semangat pagi dr Haurissa, masih di Kalbar ya atau sdh pindah tugas mudahan tetap semangat sebagai pejuang kesehatan masyarakat. Tahun 90an saya juga punya saudara yg pernah dirawat di RS dan ditangani koass dan jadi pergunjingan dikalangan keluarga wah jadi kelinci percobaan dan saya bilang iklas saja kan ada seniornya juga yg akan menindak lanjuti dan tidak mungkin mereka akan mencelakai pasien, dan alhamdulillah sembuh dengan baik sampai sekarang. Tahun ini putri saya mulai menjalani koas dari sebuah FK PTN tepatnya pertengahan Maret 2014 ini dan dengan kelakar kalau paman sakit di RS pasti kamu ya yg akan meawat katanya kepada putri saya, tulisan yg bagus dan memetik tulisan Anda akan saya jadikan pesan kepada putri saya. Salam dan tetap semangat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas apresiasinya :) Saya kini sudah bekerja di salah satu rumah sakit umum di Pontianak. Salam untuk putri Anda dan tetap jangan patah semangat untuk mencapai cita-cita :)

      Hapus
  24. Saya bukan seorang dokter ataupun mahasiswa kedokteran, tapi saya selalu respect terhadap mereka yang berjas putih. Saya selalu memiliki persepsi bahwa mereka adalah sosok keren nan jenius. Sayangnya, persepsi saya tersebut banyak dikecewakan oleh sebagian oknum dokter yang kurang bertanggungjawab. Tapi, over all, saya bisa memahami hal tersebut. Besar harapan saya, kita semua bisa mewujudkan kehidupan yang bersinergi, tidak ada pengkotak-kotakan hanya karena saya dokter dan Anda bukan.
    Oke, semangat dokter-dokter Indonesia. Tetap berbudi luhur dan profesional dalam bekerja. Kita sama-sama lelah, namun kita bisa melakukan yang terbaik untuk kemajuan negeri.
    :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Ayo kita sama2 semangat bekerja dalam profesi masing-masing :)

      Hapus
  25. Semoga lebih banyak lagi dokter yg mengedepankan kemanusiaan, dibandingkan materi. Meskipun kita tahu sekolah dokter mahal. Saat ini ada oknum dokter yang lebih mementingkan materi

    BalasHapus
  26. koas atau dokter muda yg sudah buka praktek (berdasarkan pengalaman), ada kesan mengejar target, contoh: banyak memberikan jenis obat, Saya tahu, karena punya teman apoteker, dan temen saya bilang, obat ini itu ga perlu.... Dan memang, koas emang rada sombong atau gimana gitu....(kesannya, SAYA DOKTER TAUUUU,,,begitu). hehehe. tapi sebisa mungkin, saya sangat menghindari utk berinterkasi dgn DOKTER....(maksud saya, jaga kesehatan agar tidak sakit)...hehehe

    BalasHapus
  27. saya 10 th pns di rumah sakit tp bukan dokter, semua mmg tinggal pribadinya tp sesuai pengamatan sy mmg dari 10 dokter yg baik hati & tidak sombong cm 2 org, lainya pada belagu dan sombong semua, klo sm yg sombong mending kita cuek saja. sy sering dimarahin karena merokok di tempat kerja tp tak biarin aja toh dy jg ga bs pecat saya,akhirnya yg sombong2 dan bawel2 pada ga mau lg marahin sy, tp kalau sm dokter yg baik hati sy malah segan jd sy malah lebih menghormati

    BalasHapus
  28. Sebenarnya lebih kepribadian masing2 aja sih

    BalasHapus
  29. Dari sinilah saya selalu mencari informasi dari beberapa teman dan sahabat saya untuk memberikan masukan serta arahah agar aku bisa kuliah di fakultas kedokteran. Akhirnya saya diberikan Salah satu teman dari teman saya memberikan Saya NOMOR HP untuk saya Hubungi, hingga saya langsung menghubungi No HP tersebut, aku menelepon No HP itu sebanyak 2 kali baru bisa terjawab, akhirnya saya berbicara dan menyampaikan keluhan saya selama ini.

    Dia merespon pembicaraan saya dan saya diberi petunjuk Untuk mengikuti 1 kali tes lagi, tapi bukan melalui jalur SNMPTN dan alur kerjasama. Penyampainyannya begini kalau memang adik mau saya bantu dengan janji kelulusan, maka saya akan bantu, tapi dengan 1 catatan adik harus menuruti apa yang akan nantinya saya arahkan, DAN SAYA JAWAB IYA SAYA SIAP, akhirnya dia menyuruh saya UNTUK MENGIKUTI JALUR NONSUBSIDI. Dan Saya jawab bukankah melalui jalur itu harus membayar terlalu banyak, katanya YA benar yang adik bilang, bahkan bisa sampai membayar ratusan juta. Tetapi adik tidak usah khawatir, saya bisa meluluskan adik dengan pembayaran hanya sebesar Rp. 20.000.000, saya menjawab bukankah biaya itu sangat sedikit, untuk jalur nonsubsidi, Ya adik memang benar apa yang adik bilang,

    Dan saya jawab kalau biaya segitu pastinya saya sangat mau. Singkat cerita, hingga akhirnya berkat dia saya dinyatakan LULUS fakultas kedokteran UI yang saya idamkan. Dan itu menjadi rasa syukur yang amat mendalam bagi saya.

    Dan darisinilah saya mengetahui kalau orang yang membantu saya hingga LULUS, adalah PEJABAT DIKTI DARI PUSAT, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi yang membidangi bagian kemahasiswaan.

    Dia Adalah Kepala Subdirektorat Kemahasiswaan.

    Bpk Dr. Widyo Winarso
    Ini No Hp-nya 0857-5619-0157.

    Anda mau seperti saya yang bisa kuliah di fakultas kedokteran, langsung saja m'hubungi No hp Bpk Dr. Widyo Winarso, Semoga beliau bisa membantu kelulusan anda seperti beliau meluluskan saya dengan hanya mengeluarkan biaya sebesar 20 juta saja.

    Semoga bermanfaat.

    BalasHapus
  30. Assalammu'alaikum wr.wb
    sedikit menjanggal disni.
    Saya seorg mahasiswa keperawatan.
    Wktu itu saya dinas disalah satu RS disumbar. Dan ketemu kakak2 yg lg koas disna.
    Dipost anda mengatakan bahwa dokter muda sering berinteraksi dgn pasien. Dan yg sering ganti infus nya dokter muda. Koq saya gk lihat hal yg demikian ya?? tapi yg sering mengganti dan berinteraksi malah perawat. Maaf sebelumnya bukannya apa2 tntg profesi perawat. Tapi koas saya liat kok cman ngikutin pembimbingnya terus. Cman nyatat nama obat saat visit keruangan doank. Tindakan pun yg dilakukan gk ada. Emg koas kyk gtu ya. So dmna dia bkal dpt ilmu pastinya sdgkan berinteraksi dgn pasien pun jarang. Sbnrnya sombong atau tidaknya seseorg itu dlm profesinya. Tergantung kepribadiannya sendiri. Salahkan kepribadian mereka bukan profesi mereka. :)
    Salam mrs.dyamond

    BalasHapus
  31. Saya bukan koas ataupun Dokter. Saya cuma pengin berbagi pengalaman, kebetulan 3bulan yang lalu saya menjadi pasien selama 7 hari di sebuah RSU di jawa tengah.

    Selama itu saya setiap hari bertemu dengan koas. Hari pertama, koas datang lalu memperkenalkan diri, nama, bahwa dia dari tim spesialis peny dalam. Kemudian tanya2 saya, memeriksa, dan memang tidak memberi diagnosis apa2. Saat saya tanya penyakitnya apa, koas to the point bilang "ya nanti ada dokter yang lebih senior yang memeriksa, dan lebih tau tindakan penanganannya.

    Dia dokter muda dari UGM. Berjilbab dan sopan sekali. Pertama bertemu saya udah respect sama dia. Karena dari " berita yang tersebar" tentang koas kan negatif2. Setiap jam 6 pagi dia datang, sambil senyum, menanyakan kondisi saya, saya juga ngga canggung untuk menanyakan banyak hal terkait kondisi saya. Kita malah kaya teman.

    Dia juga menyemangati saya saat saya sempat down pertama kali mengetahui penyakitnya. "Tenang aja, mba harus yakin, optimis pasti bisa sembuh. Yang penting jgn lupa minum obatnya. Mba masih muda, masa depannya masih panjang. Mba harus semangat. Memang harus sabar karena prosesnya cukup lama, tapi yakin, pasti nanti sembuh".

    Itu yang bikin saya salut, dokter memang harus gitu, ngga cuma memeriksa pasien, tapi pendekatan dengan pasien itulah yang bikin pasien merasa nyaman. Sehingga rasa takut, pesimis, hilang dari pikuran pasien yang nantinya kesembuhan juga menjadi lebih cepat.

    Jadi sebenernya ngga semua koas buruk seperti berita yang tersebar. Alhamdulillah saya mendapati koas yang baik. Terima kasih dr. Nurida, semoga sukses selalu.

    Terima kasih..

    BalasHapus
  32. Pro : masBro Haurissa.

    Saya seorang penulis, sedang menulis 'Novel' bernuansa rohani Katholik.
    Tokoh utama'nya seorang mahasiswi fakultas kedokteran.
    Sampai pada tahapan program Coas, saya terbentur dengan Kekurang tahuan saya tentang, apa, siapa dan bagaimana Coas itu, saya mencari tahu, searching, browsing, tanya mbah google, saya diarahkan ke web resmi fakultas kedokteran dari beberapa universitas negri maupun swasta.

    Saya lelah mencari, tidak ada yang membahas secara spesifik tentang pernik-pernik Coas.
    (maaf, mungkin saya yang bodoh yaa ..? may be .. haha ...)
    pengakuan tak resmi.

    Seolah, informasi tentang Coas itu tidak penting disampaikan ke publik.

    Saya bersyukur hari ini tgl 22 September 2015, saya menemukan yang saya cari, di blog masBro Haurissa, saya mendapatkan informasi / pengetahuan tentang Coas, lebih dari yang saya butuhkan.

    Dan juga semua komen dari pembaca semua menjadikan nilai plus di topik blog ini.

    Berlaksa terima kasih, masBro, untuk semuanya.
    Selamat melayani pasien / masyarakat,

    Salam sukses n GOD Bless you.

    saya Cinta Renjana.

    BalasHapus
  33. Saya sama orang tua saya disuruh kuliah di kedokteran .. Tapi saya dari ips . Dan banyak info katanya kalau dari IPS gak boleh daftar ke FK jadi saya daftar ke S1keperawatan . Tapi hati ini tetep ingin masuk ke kedokteran .. Jalan dan solusianya bagai mana ya

    BalasHapus
  34. mau sombong atau gak sombong, itu urusan mereka, yang penting diri kita tetap rendah hati dan tidak sombong.... simple

    BalasHapus
  35. SANGAT BENAR SKL..! LHT TUH KOAS/DOKTER2 UMUM YG BR LULUS DI UGD ST.CAROLUS... sok pinter, arogan & kaku! HT2 AJA KL KESANA...

    BalasHapus
  36. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  37. Semua kembali ke pribadi masing2 sombong tidaknya seorang koas,klo saya pernah sakit telinga dan rutin 2x seminggu ke poli tht di RSUD Jombang jatim,itupun selama 2 bulan berturut-turut..saya jg seorang praktisi kesehatan yaitu seorang analis kesehatan..klo dari segi kacamata saya seorang dm itu seorang yg jenius n kerenn banget..selama 2 bln itu saya mengamati para koas disana sangatlah santun,ramah dlm menangani pasien (mereka dari fk.PTS islam di malang JATIM)Dan saya juga ga merasa sbg kelinci percobaan malah semangat bisa membantu mereka untuk menambah ilmu & skill mereka..smg mereka benar2 bisa.menjadi seorang dokter yg handal & tidak memilih2 pasien..bisa menjadi dokter yg amanah.

    BalasHapus
  38. Saya dokter muda yang akan coass bulan februari ini. senang bisa membaca tulisan dr.haurissa mengenai pengalaman coass dan semoga saya bisa menjadi seperti dokter nanti ☺

    BalasHapus
  39. JAngankan didunia rumah sakit....disemua lembaga yang namanya senior sikapnya juga seperti itu ..ini soal kedewasaan saja...memang sideeffeknya ketika menghadapi pasien sikap memarjinalisasi terhadap yang junior dapat mengakibatkan kejanggal;an perilaku...ditambah pula dengan carier dari junior sendiri yang karena idiologinya merasa status sisialnya termasuk lebih tinggi secara pandangan umum menambahkan perilaku yang diharapkan oleh paien berupa empati tentunya..menjadi semakin berkurang dan sulit didapat...ini namanya behavior...berkaitan dengan soal pshycologi..hendaknya dipahami.

    BalasHapus
  40. Saya mahasiswi kebidanan, pernah pkl di salah satu RSUD di jateng bareng sama koas-koas dari berbagai instansi. Macem-macem sih orangnya, ada yg baik ada yg sombong, ada yg cuek, ada yg gatau apa-apa. Cuma beberapa aja yg sombong. Untuk menyapa, bahkan senyum pun tidak. Kadang mereka yg sombong semacam menganggap remeh praktikan dari kebidanan maupun keperawatan. Seperti bukan levelnya mungkin. Sedikit cerita, pas itu lagi nolong persalinan, ada bidan, ada dr. Spog, ada kami praktikan bidan dan perawat ada juga koas. Kalau pas persalinan mereka koas ngumpul semua, giliran udah waktunya kala 5 (bersih bersih 😂) wuu semua dilimpahkan ke praktekkan bidan sama perawat, koasnya entah kemana. Trus pernah kadang mereka koas melimpahkan tugasnya ke praktikan bidan dan perawat. Pdhl itu tugas ditujukan kepada mereka. Pernah saya tiba tiba disuruh meriksa djj sama koas katanya dia mau shalat sambil terburu buru, pdhl dia baru keluar dr ruang periksa. Saya gatau dia beneran terburu buru atau gatau letak punctum maksimumnya karena pasien tsb posisi janinnya melintang. Trus ada juga koas yg dia gabisa nyuntik intravena -_- dan kami praktikan yg mengajari, kadang merasa lucu soalnya koas yg itu saya rasa emg dia tuh sombong, eee tau tau injeksi IV aja kami yg ngajarin 😂. Tapi ga sedikit kok koas yang baik, ramah dan tidak sombong. Mereka mau bergabung mengobrol banyak hal tentang kesehatan kepada kami, dan melakukan tindakan bareng sama kami. Karena pada dasarnya kami praktikan dan koas masih sama sama belajar 😊

    Ikut curhat ya dok 😊
    Salam 😊

    BalasHapus
  41. Baru mo coass, doain lancaaar semoga bisa jadi dokter Muda yang sabaar😁😁😁😂😇

    BalasHapus
  42. Semua prasangka sombong itu terhapuskan saat saya menjadi salah satu medstud di universitas tanjungpura kalbar, bahkan saya merasa dulu saya begitu sombong sebelum masuk kesini, disini orangnya ramah2, beretika, dan memiliki sopan santun karena kami selalu menerapkan 7s.

    BalasHapus
  43. Semua prasangka sombong itu terhapuskan saat saya menjadi salah satu medstud di universitas tanjungpura kalbar, bahkan saya merasa dulu saya begitu sombong sebelum masuk kesini, disini orangnya ramah2, beretika, dan memiliki sopan santun karena kami selalu menerapkan 7s.

    BalasHapus
  44. Satu hal yang ingin saya sampaikan di sini, untuk saudara Hau, manusia bukanlah makhluk sempurna, namun manusia senantiasa menuju pada kesempurnaan. Teruslah belajar dan rendah hati lah sebagai seprang dr.
    Untuk Pemerintah, entahberwenang @dirjenpendidikantinggi atau @kementerainpendidikan, diperhatikan agar para koas hendaknya diperlakukan secara manusiawi oleh para dosen atau senior, atau dokter yang membimbing mereka. JAngan sampai karena sistemnya sudah salah sejak dahulu, dipertahankan dan diberlakukan terus-menerus pada para yunior. Harus mulai berikan pendidikan keteladanan. Jangan sampai para pengajar atau pembimbing koas yang lebih dahulu tidak memperhitungkan aspek kemanusiaan dari para KOAS.
    Pesan untuk para dr senior di seluruh rumah sakit yang menerima dan mengajar koas.

    BalasHapus
  45. Kalau jadi koas itu pindah2 nggak misalnya kita jdi koas di rs A terus beberapa bulan kedepan dipindahkan ke rs B lagi habis itu dipindahkan lagi ke rs C emang jdi koas seperti itu?

    BalasHapus
  46. Tapi ya kdg kita perawat/ners dipandang sebelah mata sama anak coas padahal masi sama2 mahasiswa, kayak gamau berinteraksi gt sm kita kadang kitanya juga yg disuruh2 sama anak coas

    BalasHapus
  47. Mereka kalau ada kertas tipis dan berharga, atau pasien yang terkenal disertai banyak anak buahnya, baru mereka gemetar dan berusaha sebaik-baiknya untuk penanggulangan pasien. Wah lebih mengerikan daripada teroris ya? Selain materi, dan kesempatan hidup banyak ada resikonya ya?!

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: