Minggu, 10 April 2011

Musik Popular Meningkatkan Risiko Depresi: Ugh, Is That Me?

Teenagers who are avid popular music listeners have a significantly increased risk for major depressive disorder (MDD). (Arch Pediatr Adolesc Med. 2011;165:360-365).

Saya cukup tertarik membaca pernyataan di atas ketika berselancar di Medscape. Ternyata oh ternyata. Menurut jurnal tersebut remaja yang sering mendengar musik popular 8,3 kali lebih tinggi dapat mengalami gangguan depresi mayor. Hal ini disebabkan musik popular banyak yang mengusung tema kesedihan dan ratapan.

Saya kemudian berpikir, apakah saya masuk dalam salah satunya? Ok, saya sudah dewasa, dewasa awal, di usia 23 menjelang 24 ini. Toh, tulisnya remaja. Lalu saya berpikir lagi dan mengecek lagu-lagu di playlist pada Blackberry.

Josh Groban - Broken Vow
Samsons - Kenangan Terindah
Samsons - Luluh
BCL - Mengapa Harus Terjadi
Afgan - Bawalah Cintaku
Dewa - Risalah Cinta
Keris Patih - Tetap Mengerti
Dewi Lestari - Malaikat Juga Tahu
Ronnie Liang - Ngiti
Richie Ren - Zhu Guang

Bah! Dan lagu-lagu pula itu yang saya dendangkan saat mandi pagi. Saya jadi takut mengalami depresi mayor juga. Apa saya perlu menggantinya dengan lagu yang sedikit ceria ya? Hmmm..... Yang pasti saya tak mau kena depresi... Tidaaakk.... T_T

3 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Salam Kenal Mas Haurissa.... Saya langsung jatuh hati pada tulisan-tulisan yang ada di blog ini.

    Catatan harian biasa sebenarnya, tapi cara pengemasannya yang tidak biasa. Saya jadi senyum sendiri hehehe

    Gak nyangka juga Mas punya hoby desain grafis. Saya juga sedang belajar grafis secara otodidak lewat bebrapa software desain.

    Ditunggu update tulisannya :)

    BalasHapus
  2. Ohya desain grafis sebenarnya saya sudah lama nggak pegang, hanya kalau ngedit2 biasa pakai photoshop masih bisa hehehe.

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: