Senin, 28 Oktober 2013

Ahok: Harapan di Balik Chauvinisme dan Primordialisme

Basuki T. Purnama alias Ahok (Sumber gambar: Tempo)


Saya ingin membuat pengakuan bahwa saya sudah tersihir oleh kedua pemimpin Jakarta, Jokowi-Ahok. Ya, memang dari sejak Pilkada, saya lebih memilih ke arah mereka dibandingkan abang alumni SMA saya, Fauzi Bowo. Kemudian kian hari saya mengikuti perjalanan mereka waktu demi waktu, entah dengan menonton rekaman rapat mereka di kanal Youtube PemprovDKI, mengikuti berita dengan label "Gebrakan Jokowi-Basuki", dan lainnya. Entah kenapa ada rasa harapan yang timbul yang begitu besar dari dalam diri saya. Ya ini dipertegas oleh Ahok dalam setiap kesempatannya, "Yang memilih kami adalah orang yang memiliki harapan."

Saya memilih Jokowi-Ahok bukan karena "efek Kelapa Gading" alias kesamaan suku. Saya sudah tak mau lagi mendekatkan diri dengan hal-hal berbau chauvinistik atau primordialistik. Omong kosong dengan kedua hal itu. Ya, saya memang berdarah keturunan Cina, namun KTP saya jelas tertulis WNI, bukan WNC. 

Saya percaya bahwa Jakarta dan negeri ini akan berubah. Berubah dengan seiiring timbulnya budaya malu dan meninggalkan hal-hal yang inkonstitusional yang memang sudah terlanjur mendarah daging di segala urat nadi negeri ini. Jokowi-Ahok akan menegakkan konstitusi negara bukan sekedar ayat suci atau tradisi segala hal berbau agamais ataupun etnis. Kita harus kembali kepada segala yang telah menjadi tiang pancang fondasi negeri ini yang dibangun oleh bapak bangsa kita.

Ahok pun sudah secara tegas menunjukkan ke-Indonesia-annya, bukan ke-Tionghoa-annya. Inilah yang saya dapatkan setelah menonton beberapa videonya seperti pada pertemuan Koko-Cici Jakarta dan beberapa perhimpunan Tionghoa. Tidak ada perilakunya pun yang menganakemaskan etnis Tionghoa, namun apa yang ia lakukan adalah menyamakan hak yang setara bagi tiap-tiap warga negara dengan sewajarnya.

Dalam beberapa tulisan di blog ini pernah saya sampaikan bahwa saya begitu mengidolakan Jokowi-Ahok, terutama memang Ahok. Sekali lagi bukan karena dia Tionghoa, tetapi dia tegas dan menggebrak serta membuat sesuatu terang-benderang, bukan hanya sekedar menyampaikan rasa prihatin.

Saya sangat senang dengan jawaban-jawaban dan tindakan Ahok yang "membela" Lurah Susan Jasmine, walaupun pernyataannya bertolak dengan pernyataan Gamawan Fauzi. Saya sangat senang dengan bahwa ia dengan posisinya sebagai birokrat tetap menempatkan ayat konstitusi dan ayat suci dalam porsinya masing-masing. Saya sangat senang bahwa ia tidak gentar dengan orang-orang yang melawan peraturan bahkan anarkis. Ia pun tak segan melawan orang seetnisnya pun dari kalangan konglomerat sampai melarat yang tak sesuai dengan apa yang seharusnya dipatuhi. Saya pun senang bahwa ia tak mengambil jalan belakang bahkan untuk stafnya sendiri yang tidak lolos administrasi dalam mengikuti tes CPNS. Ia menegakkan konstitusi.

Memang saya dulu pernah agak kecewa dengan Ahok yang pada awal-awalnya begitu galak dengan profesi dokter. Namun setelah saya pikir-pikir, memang ada benarnya juga, bahwa profesi ini dan segala institusi pendidikan serta kerjanya pun masih banyak harus dibersihkan, agar siapapun memperoleh hak dan kewajibannya secara adil dan proporsional.

Saya tetap berharap dan ingin terus berkontribusi, menghapuskan chauvinisme dan primordialisme. Tidak ada tempat bagi keduanya di Indonesia.

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: