Jumat, 01 November 2013

Dokter, "Buruh", dan Kesejahteraan


Akhir-akhir ini marak diberitakan mengenai demo buruh di berbagai tempat di negeri ini. Yang paling disorot tentu buruh di DKI Jakarta. Mereka menginginkan Upah Minimum Provinsi alias UMP 2014 sebesar Rp 3.700.000,-. Tuntutan mereka begitu meningkat dari UMP 2013 sebesar Rp 2.200.000,-. Saya tak mau membahas soal Dewan Pengupahan, Kebutuhan Hidup Layak (KHL), atau UMP. Saya ingin mengingatkan saja bahwa ada dokter umum yang digaji Rp 1.200.000,- di negeri ini. Ya, dokter umum.

Dokter = “Buruh”

Bagi para sejawat dokter, jangan tersinggung dulu kalau disebut dokter adalah “buruh”. Terminologi ini sengaja saya ketikkan dalam tanda petik, karena istilah ini saya kutip langsung dari Undang Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Siapapun di negeri ini yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan adalah “pekerja/buruh” (Pasal 1, ketentuan umum poin 3). Ya, saya kira jangan pernah menyangkal bahwa dokter pun adalah kaum pekerja.

Di sini saya bukan bermaksud untuk merendahkan profesi saya. Tetapi saya ingin mengingatkan bahwa dokter, sebagai pekerja, memiliki apa yang disebut HAK-nya, salah satunya jelas tertulis di definisi di atas (baca: imbalan/upah). Dan tentunya hak-hak lainnya seperti jaminan keselamatan kerja dan lainnya yang berujung pada kesejahteraan. Dan fungsi upah ini jelas agar memperoleh kehidupan yang layak (Pasal 89 ayat 2). Dan pada pasal 90, “pengusaha” dilarang membayat upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 89.

Apakah dokter dibayar oleh “pengusaha”? Iya! “Pengusaha” ini dapat berupa badan sarana penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dan lainnya, dan termasuk bagi yang dibawah naungan pemerintah (pegawai negeri, pegawai tidak tetap).

Apa Dokter Belum Sejahtera?

Ya, saya tahu, kebanyakan stigma “dokter itu kaya” sudah melekat pada profesi ini. Maaf saja, itu sudah tak lagi relevan. Bahkan banyak dokter, terutama dokter umum, yang kini berjuang keras bagaimana bisa menghidupi keluarganya.

Jika kita melihat klinik-klinik di kota besar seperti Jakarta, atau pesan singkat yang sering masuk ke ponsel dokter umum: “Uang Duduk 250 ribu / 24 Jam. Jasa per pasien Rp. 15.000 (dihitung setelah pasien ke 15).

Iklan di atas malah mungkin lebih tinggi dari rata-rata klinik di Jakarta. Kalau dilihat, uang Rp 250.000,- cukup besar bukan? Tapi lihatlah waktu kerjanya, 24 jam. Padahal UU Ketenagakerjaan mensyaratkan jam kerja ideal adalah 40 jam seminggu (Pasal 77 ayat 1). Memang jika dokter tersebut tahan banting dan terus menerus praktik, maka penghasilannya besar. Tetapi ini cara yang kurang baik bukan?

Seberapa Seharusnya Penghasilan Dokter?

Ikatan Dokter Indonesia sudah memberikan rekomendasinya pada Panduan Kompensasi Dokter dan Jasa Medik pada November 2008 (5 tahun lalu!). Pada halaman 6 dituliskan, formula kompensasi setahun bagi dokter umum yang ideal adalah: 10-14 x pendapatan perkapita. Jika kita ambil pendapatan perkapita Indonesia pada tahun 2012 adalah 3.797 USD, artinya pendapatan dokter di Indonesia idealnya adalah 37.970-53.158 USD. Jika memakai kurs 2012 sekitar Rp 330.000.000,- sampai Rp 462.500.000,-, atau Rp 27.500.000,- sampai 38.500.000,- per bulan. Angka yang fantastis! Dan dituliskan juga, “Kompensasi ini adalah kompensasi dari kerja utama dengan waktu kerja 40 jam/minggu, 220 hari kerja efektif setahun.” Belum lagi faktor pengali indeks geografi praktik (IGP), yang dapat 1,5x pada daerah terpencil.

Kondisi kini, penghasilan dokter umum internsip adalah Rp 1.200.000,- per bulan, dokter PTT di daerah terpencil (Rp 4.800.000,- sampai Rp 7.500.000,-). Bahkan IDI sendiri menyebutkan kesenjangan penghasilan dokter umum dan spesialis adalah 8-244 kali. Luar biasa? Lain cerita lagi jika dibandingkan dengan penghasilan sarjana-sarjana lainnya.

Sebagai perbandingan di luar negeri (hanya sebagai gambaran), pendapatan dokter keluarga di Amerika Serikat per tahunnya rata-rata 173.000 USD (Medscape, Physician Compensation Report 2013). Di Malaysia, tahun ini, pendapatan dokter umum berkisar 7.000 - 12.000 RM per bulan, artinya 26.880-46.080 USD per tahun. Di Singapura, pendapatan dokter umum berkisar 3.500-6.000 SGD per bulan, atau 33.600 USD - 57.600 USD per tahun. Tak hanya dokter, gaji paramedis seperti perawat pun cukup tinggi.

Dokter bukannya perlu dibayar mahal, tetapi dibayar dengan pantas dan layak sesuai dengan kompetensi yang ia punyai. Menakertrans, Muhaimin Iskandar, berkata, “Upah itu harus berdasarkan kompetensi, Misalnya gaji sarjana Rp 3,7 juta itu rendah jika kompetensinya tinggi,”

Dokter Internsip yang Merana

Ini kisah lain lagi.

Dokter internsip mungkin Anda baru dengar. Program ini baru berjalan 1-2 tahun belakangan ini. Program ini menurut Permenkes 299/MENKES/PER/II/2010 adalah proses pemantapan mutu profesi dokter yang harus diikuti oleh dokter yang baru lulus Program Studi Pendidikan Dokter, selama 1 tahun. Pasal 11 dinyatakan, biaya hidup dan transportasi selama mengikuti program Internsip Ikatan Dinas ditanggung oleh Pemerintah. Ditanggung. Ya, ditanggung Rp 1.200.000,- yang mungkin lebih rendah dari kebanyakan UMP provinsi di negeri ini.

Dokter internsip ini sudah bertindak selayaknya dokter, bekerja seperti dokter, namun berbeda hanya ada pendamping. Mereka sudah terhitung profesional. Anda sudah mulai prihatin?

Kenapa Kok Perhitungan Sekali?! Dokter itu Mengabdi!

Ya, jika buruh mendapat penghasilan tak layak disebut perbudakan, sedangkan jika dokter berpenghasilan tak layak disebut pengabdian. Saya rasa buang jauh-jauh pendapat ini sekarang. Dokter pun juga manusia, yang perlu menghidupi keluarganya, yang perlu menyekolahkan anaknya, menghidupi pasangannya, dan lainnya. Dokter perlu hidup layak.
Jika ditanya soal mengabdi. Ya, dokter memang harus mengutamakan kepentingan pasien. Kami tidak pernah bertanya sebelum menolong, “Bapak/Ibu punya duit tidak?”. Saya pribadi saat PTT juga tidak pernah memaksa menagih atas jasa tindakan medis ketika pasien tak mampu membayar. Namun dokter pun perlu dijamin dengan sebuah sistem kesehatan yang juga mengatur tenaga kesehatan yang baik, yang bisa menjamin kesejahteraan kami. Sistem ini diperlukan tanpa membebani masyarakat. Dokter tidak boleh dianggap sebagai “lintah” masyarakat yang menyedot segala harta mereka. Dokter perlu keadilan sosial, bukan bantuan sosial.

Dokter Bersuara

Dokter (baca: dokter umum) di negeri ini harus dapat meniru seperti buruh di DKI. Yaitu, bersuara! Menyatakan hal-hal apa saja yang perlu disampaikan. Tentu, sebagai profesi yang luhur, cara yang digunakan pun perlu santun dan dilakukan tanpa merugikan pihak siapapun.

*Dipublikasikan juga di Kompasiana

2 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Hau,

    Kenyataannya angka yang dibuat itu (iya, angka tersebut saya ingat sekali dibuat oleh salah satu orang UI pada waktu HPEQ). Yang waktu itu dibuat juga dengan perbandingan dengan Dokter-dokter di berbagai negeri di Asia. (dengan perhitungan sedemikian besar, ya kelihatannya angkanya jadi fantastis banget - padahal biaya hidup cth di Singapur itu juga besar ditambah pajak penghasilan yang juga cukup ya sepadan dan hampir tidak bisa berkelit dari kewajiban yang satu itu).

    Kalau dokter digaji sekitar angka Rp 30 juta - Rp 40 juta, perbaikan harus ada di segala bidang juga ya. Harus siap penghasilan "extra" yang muncul-muncul karena Farmasi, Lab dihilangkan. Harus siap bayar (dan dikejar) pajak juga. :D Harus siap bekerja di Rumah Sakit dengan formularium obat dan kebijakan yang sudah jelas dan bukan favor ke arah "merek ini merek itu" (ya karena retailer ada kasih fee yang menarik) kalau pemilihan obat dan bisa memberikan label harga ke tindakan sendiri (ada yang spt itu -- di beberapa daerah). Harus siap lebih profesional ke pasien.

    Ya, I know I'm a GP too. Tapi saya juga tahu bahwa tanggungjawab dapat "30 juta" itu bukan tanggungjawab sepele. Kompetensi dokter pun harus naik seiring ya gaji 30 juta itu. Pertanyaannya untuk membuat kita pantas dapat "seberapapun itu", harus kembali ke diri sendiri.

    Sama seperti buruh yang harus tanggungjawab dapat 3,7 juta itu harus dinaikkan lagi kompetensinya. Tahukah anda dengan project yang sama, buruh Indonesia harus ada 2x lipat jumlahnya dibandingkan buruh dari negeri Cina?

    Entahlah, betul sih memang bahwa ketidakadilan sosial ada di profesi kita selama ini. Tetapi tidak terelakkan juga profesi kita sendiri masih banyak hal yang perlu dibenahi di dalam. Kalau kita tidak mau mengorbankan pasien, rasanya persoalannya bukan hanya melulu di soal gaji tetapi juga di sistem kita sendiri pada saat ini.

    Just a thought. :)


    BalasHapus
  2. Thanks sa,

    Thanks sudah terdampar di blog gua hahahaha.

    Yup, memang perbandingan ini nggak bisa apple to apple, karena sisi pendapatan perkapita, daya beli, dan lainnya berbeda antarnegara. Tetapi kita lihat bahwa jomplang sekali. Jika pendapatan dokter di Indonesia Rp 5.000.000,- per bulan atau Rp 60.000.000,- per tahun, maka artinya hanya setara 2x gaji bulanan di Malaysia dan Singapura.

    Memang dengan adanya peningkatan (seandainya) maka perlu dilakukan reformasi terhadap tata kelola yang baik terhadap pelayanan kesehatan. Dokter harus melakukan pelayanan sesuai clinical pathway yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

    Saya kira dengan clinical pathway yang jelas, obat yang jelasm harga yang jelas, maka konsumen yaitu pasien juga senang karena semuanya jelas, transparan, dan terang-benderang. Sehingga ngga ada lagi syak-wasangka terhadap dokter yang sering dianggap "bermain-main" untuk memperkaya diri sendiri.

    Pembenahan ini besar, ngga cuma dalam tenaga medis saja, tapi pastinya juga akan menyenggol farmasi, penyelenggaran jaminan sosial, dan paramedis lain seperti perawat dan bidan. :)

    Thanks atas brainstormingnya :)

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: