Rabu, 04 Desember 2013

Komunikasi Dokter yang Harus Diintrospeksi

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengemukakan sebuah sisi lain. Saya tak mau lagi membahas mengenai teknis atau hukum atau hal lainnya yang berkaitan kasus dokter Ayu. Tapi di dalam hati kecil, saya merasakan bahwa ada sesuatu hal yang harus juga segera untuk diperbaiki oleh kami, para dokter. Dalam acara Indonesia Lawyers Club malam ini (3/12/13) pun keluar, yaitu "komunikasi" dan "empati".

Walaupun sebenarnya "komunikasi" dan "empati" seharusnya termasuk bagian algoritma alur hubungan dokter-pasien, terutama dalam membangun rapport, namun seringkali terlupa. Terlupa ini bisa bagian dari sistem, atau juga bagian dari habituasi yang tak disadari.

Komunikasi Pudar oleh Sistem

Ya, hipotesis saya mengatakan demikian. Sistem kesehatan ini seringkali memaksa dokter untuk bekerja ekstra-cepat. Misalnya dalam poliklinik Puskesmas di Jakarta dengan jumlah pasien menembus ratusan, dokter mau tak mau melayani dengan cukup singkat. Padahal pertemuan dokter-pasien yang ideal minimal 15 menit. Dokter mencoba membangun kepercayaan dan hubungan pasien yang baik. Pasien pun merasa enggan dipegang-pegang tubuh dan bagian privasinya pada orang yang ia baru kenal, bukan? Maka, hubungan yang hangat diperlukan di sini.

Tetapi, lagi-lagi sistem, yang perlu diubah entah jumlah tenaga medis yang ditambah atau jumlah sarananya. Saya sendiri, selama bertugas di Puskesmas, memang "beruntung" bahwa jumlah pasien sekitar 10-20an per hari, di mana saya lebih leluasa untuk membangun rapport dan memeriksa pasien. Tak jarang, canda dan sedikit berbagi info lainnya, akan memberi hubungan yang baik antara saya dan masyarakat, terutama jika saya sedang tak lagi berdinas.

Komunikasi karena Habituasi

Saya masih ingat, salah satu guru saya di FK UNIKA Atma Jaya pernah berkata bahwa ia lebih menyarankan siswanya untuk menghabiskan waktu di samping tempat tidur pasien dan berinteraksi dengan pasien, daripada banyak menghabiskan berkumpul di ruangan koas. Ya, ada benarnya, bahwa kita perlu dibiasakan bergaul dengan pasien.

Memang, to err is human. Dokter adalah pekerjaan yang cukup menguras tenaga, dan seringkali kita lupa untuk berinteraksi secara humanis dengan pasien kita. Kita perlu diingatkan terus tentang ini.

Komunikasi Banyak Membantu

Komunikasi yang komunikatif memang akan banyak membantu dokter dalam praktiknya. Memberi penjelasan seefektif mungkin dalam keadaan yang ada. Mungkin dalam kondisi darurat, kita dapat menjelaskan secukupnya atau meminta petugas lain untuk membantu menjelaskan. Atau ketika pasien tak dapat kita tangani, kita menjelaskan sebaik-baiknya sehingga keluarga pasien tak merasa "dokter menolak pasien". Dengan memang pengalaman yang tak banyak ini, saya mendapatkan bahwa suasana praktik kedokteran saya dulu baik-baik saja, sedikit sekali terjadi gesekan dengan pasien, walau memang pasien meninggal.

Cerita pasien yang meninggal pasien ini membekas di ingatan saya. Saat itu malam hari, UGD Puskesmas kami mendapatkan pasien yang tak sadarkan diri. Saya perkirakan ini adalah stroke, namun saya coba jelaskan bahwa kemungkinannya bisa lain-lainnya sehingga perlu pemeriksaan dan tindakan di rumah sakit yang besar. Saat itu, beberapa orang keluarganya datang satu per satu, sehingga saya mau tak mau harus dengan sabar menjelaskan ulang. Saya coba jelaskan bahwa apa yang kami bisa seperti ini, dan keadaan pasien gawat dan bisa meninggal jika tak dibawa ke rumah sakit, walaupun tak menutup kemungkinan pasien juga bisa meninggal saat perjalanan atau di rumah sakit kelak. Setelah mereka berdiskusi, mereka hanya ingin perawatan minimal di Puskesmas saja, dan informed consent pun ditandatangani keluarga. Dengan perawatan yang sebisa kami di Puskesmas untuk pasien yang diduga stroke, akhirnya pasien meninggal menjelang subuh. Keluarga pasien pun menerima dengan lapang dada, dan yang masih membekas di kepala saya adalah ucapan keluarganya, "Terima kasih dok atas usahanya terhadap orang tua kami." Saya pun terperangah, dan jika dipikir-pikir se-"wah" apalah usaha yang bisa kami lakukan di tempat terpencil ini, namun dihargai oleh pasien.

Hubungan yang komunikatif memang tampak sederhana. Ini menunjukkan lagi bahwa hubungan dokter-pasien tak hanya sekedar prestasi-kontraprestasi, tetapi kembali lagi ke hubungan yang manusiawi.

"Cure sometimes, treat often, comfort always." - Hippocrates

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: