Kamis, 19 Desember 2013

Bahasa Indonesia yang Perlu Kita Pelajari Kembali

Kalau ditanya soal bahasa Indonesia, saya selalu mengingat kata-kata ini. Banyak orang yang berpendapat bahwa, "Untuk apa belajar bahasa Indonesia, toh kita harus melihat globalisasi yang mendunia dan berkiblat pada bahasa Inggris." atau "Bahasa Indonesia itu gampang sekali kok. Nggak perlu dipelajari terlalu mendalam."

Ya, orang Korea pun akan mengatakan bahasa Korea mereka mudah, sedangkan kita harus agak berpontang-panting menyesuaikan pola kalimat S-O-V mereka, karena keterbiasaan kita dengan pola kalimat S-V-O pada bahasa Indonesia maupun Inggris.

Jadi, tidak ada yang mudah. (Mengenai apakah Bahasa Indonesia termudah di dunia pernah saya sampaikan di sini).

Beberapa hari belakangan ini, saya bertugas menyunting beberapa naskah. Saya menemukan bahwa ada beberapa hal yang sebenarnya sederhana, namun kerap kali menjadi kesalahaan umum. Bahkan ini sering dilakukan oleh para penerjemah. Walaupun kemampuan berbahasa saya tidak sempurna, namun saya ingin menyampaikan beberapa hal ini, agar bahasa Indonesia kita pun kian membaik.

Ejaan Kata Serapan

Banyak masalah ejaan klasik yang timbul dalam pembendaharaan kata kita, misalnya: aktivitas atau aktifitas? nasihat atau nasehat? risiko atau resiko? apotek atau apotik? camilan atau cemilan? handal atau andal? Mungkin ini sebenarnya hal ini dapat menjadi pertanyaan ujian untuk anak SD tahap akhir, tetapi kita kerap keliru.

Hal yang menyebabkan kebingungan ini adalah karena banyaknya penyerapan suatu istilah asing, terutama bahasa Inggris. Kita mungkin sering mendengar kata "aktif" (bahasa Inggris: active), yang akhirnya menjebak kita menjadi memilih lema yang keliru, "aktifitas", dibandingkan "aktivitas". Dilema "f" dan "v" ini memang dapat memberi penyiratan bahwa terjadi hal yang tidak konsisten. Namun tahukah kita bahwa dalam penyerapan kalimat berakhitan -ization atau -ity terjadi hal yang disebut "penyerapan tidak lepas dari kata dasarnya" sehingga "v" tetap bertahan. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menyetujui "negativisme" dan "efektivitas", di balik itu juga terdapat "negatif" dan "efektif".

Menyerap Kata yang "Keliru"?

Sebelumnya, mohon dikoreksi bila saya keliru. Saya menemukan terjemahan "metabolized" (dalam bentuk past participle untuk bentuk kalimat pasif, yang diterjemahkan "dimetabolisasi". Sebenarnya saya sendiri tidak setuju dengan penerjemahan ini.

Jika "dimetabolisasi" artinya "di- + metabolisasi". Pertama, tidak ada kata "metabolisasi" atau "metabolization" dalam daftar lema Kamus Merriam-Webster, walaupun saya ada menemukan sedikit penggunaan kata ini saat mencarinya di Google, misalnya judul "Metabolization of Elemental Sulfur in Wheat Leaves Consecutive to Its Foliar Application" yang diterbitkan di Plant Physiol. 1987 December; 85(4): 1026–1030. Namun kata ini jauh kalah populer dibandingkan saudaranya "metabolisme". Dengan penelusuran ini, saya sendiri menyimpulkan bahwa "metabolisme" adalah kata yang baku, dibandingkan "metabolisasi". Karena alasan ini juga, saya lebih memilih kata "dimetabolismekan" -juga daripada "dimetabolisme"- dalam membentuk kata kerja yang berkata dasar kata benda. Mungkin selama ini kita salah kaprah menganggap "metabolisme" sebagai kata kerja, padahal ini adalah "kata benda" yang merujuk pada suatu proses.

*Catatan: Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2000, tertulis ada proses yang disebut transposisi, yaitu penurunan kata yang memperlihatkan peralihan suatu kata dari kategori sintaksis yang satu ke kategori sintaksis lain tanpa mengubah bentuknya. Misalnya dari kata "sikat" yang merupakan kata benda (nomina), menjadi kata kerja (verba) "sikat", sehingga bisa diimbuhkan menjadi "disikat" atau "menyikat". Namun sayangnya apakah pada "metabolisme" menjadi "dimetabolisme" dapat dibenarkan melalui konsep ini. Walaupun jika dibandingkan pelibatan kata dasar "-isme" lainnya kurang lazim digunakan misalnya "dianimisme?", "disarkasme?", "dikomunisme?" . 

Keesokan harinya, saya menerima kiriman buku yang saya pesan dari toko buku sastra daring (online), yaitu buku Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa dari Harimurti Kridalaksana. Dalam buku tersebut terdapat bahasan penerjemahan afiks dari bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Dalam halaman 61, dikatakan akhiran -ise atau -ize dalam bahasa Inggris, atau -iseren dalam bahasa Belanda, diterjemahkan menjadi -isir dalam bahasa Indonesia. Jadi, "organize" menjadi "organisir", "nationalize" menjadi "nasionalisir", dan "metabolize" menjadi "metabolisir".

Penggunaan Kata Depan versus Imbuhan

Penggunaan kata depan pun seringkali salah. Contoh sederhana, penggunaan kata "di, ke, dari", terutama "di". Kita perlu menyadari sesadar-sadarnya bahwa ada dua macam "di" dalam bahasa kita, yaitu "di" dan "di-". Kata "di" adalah kata depan, sebuah kata mandiri. Sedangkan "di-" adalah imbuhan awalan atau prefiks.

Kata depan "di", atau preposisi, adalah kata yang mengawali suatu kata benda, yang menyatakan posisi. Karena posisinya sebagai "kata" maka penulisannya dipisahkan dengan kata yang diterangkannya. Misalnya "di atas", "di bawah", "di rumah", "di Jakarta", "di suatu hari", termasuk juga kata yang sering keliru dituliskan, "di mana". Begitu juga "di antaranya". Memang, ada kata kerja "mengantara", namun di sini artinya "menengahi", "menjadi perantara", atau "memberi berantara". Arti ini tentu keliru maknanya jika disandingkan dalam kalimat, "Yang termasuk buah-buahan, di antaranya."

Prefiks "di-", adalah imbuhan awalan yang disematkan dengan kata dasarnya. Karena sifatnya sebagai pengimbuh, maka prefiks ini dilekatkan dengan kata dasarnya, misalnya "dibuka", "dilamar", "disusun".

Penulisan imbuhan dengan kata dasar yang majemuk, seperti "kerja sama", "terima kasih". "putar balik", sering membingungkan. Jika ingin merujuk kepada EYD, maka jika imbuhan tunggal digunakan pada kata majemuk, maka kata majemuk tersebut tetap ditulis terpisah, misalnya "bekerja sama" bukan "bekerjasama", "berterima kasih" bukan "berterimakasih".

Namun, jika imbuhan tersebut gabungan antara awalan dan akhiran, yang disebut konfiks, misalnya "per-an", "di-kan", dan sebagainya, maka kata majemuk tersebut saling dilekatkan di antara konfiks tersebut, misalnya "diputarbalikkan", bukan "diputar balikkan", apalagi penyematan kata hubung "diputar-balikkan".

Ya, agak rumit bukan kalau kita menelisik tata bahasa yang baku. Jadi, lagi-lagi saya simpulkan, bahasa Indonesia tak semudah yang dibayangkan.
  

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: