Rabu, 08 Januari 2014

Lalu Lintas Kota Pontianak yang Bikin *Facepalm*

Setelah 10 tahun melanglang di Jakarta, akhirnya saya berpikir untuk kembali ke kampung halaman di Pontianak. Ya sudah 1 tahun saya kembali, namun saya bertugas di daerah terpencil di Kabupaten Landak,  yang jauhnya 3 jam dari Pontianak. Kemudian saya kembali sejenak 6 bulan di Jakarta, dan kembali (lagi) ke Pontianak.

Suasana di perempatan Tanjung Pura-Imam Bonjol, Pontianak. Walaupun lampu lalu lintas berwarna merah, banyak motor yang berbeloka arah dan bahkan terlalu ke depan ke wilayah perempatan yang seharusnya terdapat yellow-box


Selama 1 bulan terakhir ini saya berkendara dan menyetir di Pontianak. Ya, saya merasakan suasana yang cukup berbeda dengan pengalaman saya menyetir selama 5 tahun terakhir di Jakarta. Pendapat saya, pengalaman menyetir di Pontianak lebih buruk bila di Jakarta. Ya, lebih buruk.

Walaupun Jakarta mungkin terkenal dengan macetnya, namun menurut saya sebagian besar pengguna jalannya masih mengerti, terutama pengendara mobil pribadi dan tidak termasuk bajaj, mikrolet maupun bus sedang (baca: Metro Mini dan Kopaja). Pengendara motor walau ganas, namun saya masih bisa "menebak" apa maksud mereka.

Jika di Jakarta, ada bajaj yang arahnya hanya tukang bajaj dan Tuhan yang tahu, di Pontianak ini saya menemukan motor dan bahkan mobil. Misalnya beberapa yang saya alami:

  1. Jika berpindah marka jalan (masih untung kalau marka jalannya ada), tidak ada lampu sein yang mengisyaratkan arah perpindahan tempat. Apakah sebagian besar motor mau ke arah kiri atau ke kanan, tidak ada yang tahu. Untungnya tidak ada bajaj di Pontianak, mungkin bisa lebih maknyus.
  2. Jika ingin berbelok arah ke kiri atau kanan (padahal arah masuknya hanya satu jalur), masih banyak yang berbelok dari jalur ke dua, sehingga mengagetkan kendaraan di lajur pertama.
  3. Ketika berbelok, motor seringkali tidak berhenti dahulu melihat kendaraan dari arah yang lurus dan mengambil radius putaran yang sangat besar.
  4. Motor seringkali berjalan zig-zag dan membuat nyaris-terserempet.
  5. Ketika kita akan berbelok dan teramat pelan, masih ada motor yang berani dengan kecepatan tinggi mendahului dari arah kiri.
Mungkin karena saya memang belum cukup berpengalaman menyetir di kota ini, namun picuan adrenalin dan takikardi menghiasi pengalaman saya selama sebulan terakhir ini. Ya, sesama pengguna jalan memang harus saling menghormati, tidak boleh semau-gue.





0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: