Kamis, 26 Maret 2009

Cheng Beng Festival: Sebuah renungan akan hidup


Ini adalah tulisan lama saat Cheng Beng tahun lalu. Hari ini kami pun merayakan Cheng Beng, mungkin bisa menjadi refleksi. Tulisan ini 29 Maret 2008 pada 10:32 WIB di Tanah Kusir, Jakarta.


Ini adalah post gw dari blackberry yang masih kredit. Baru bayar sepertiganya. Hehe..


Hari ini, gw mewakili nyokap ikut dalam cheng beng. Yang menurut almanak tionghoa berarti semua ruh turun ke bumi. Kita sebagai jiwa terkandung badan memberikan sambutan kepada saudara yang telah mendahului kita.


Jam 6 saya dan beberapa keluarga dari nyokap berangkat ke pemakaman Tanah Kusir. Rencananya akan bertandang ke pusara Kungkung, Popo, om Kuncoro, tante Leony, dan Ci Budi, anak Ie Ie Gede.


Sebuah pikiran yang cukup menghenyakkan adrenalin. Hal ini timbul karena saya melihat pusara dari orang orang disekitar. Mereka yang begitu dikasihi oleh rekannya, meninggal dalam usia hidup yang beragam. Ada yang menjadi kakek dalam usia 60 tahun. Ada juga yang hanya 1 hari saja.


Saya terpikir lagi. Saya dalam usia 20 tahun. Saya pun agak merinding, mengingat kelak saya pun akan terlelap dalam pusara suatu hari. Hidup begitu banyak jenisnya. Awal dan akhir bukan lagi urusan logika dan campur tangan insani. Saya pun berpikir lagi, apa benar apa yang saya isi dalam hidup telah sedemikian berarti? Aku pun kini berpikir tentang hidupku yang bisa saja segera berakhir dan tak seorang pun yang dapayt menaksir dalam nisbi hidup.

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: