Jumat, 11 Desember 2009

Sindroma Mahasiswa Kedokteran

Saya masih ingat ketika itu saya merasa ada yang aneh pada diri saya. Saya merasa hidup saya tidak terlalu menyenangkan. Saya kehilangan waktu untuk hobi saya bermain game. Saya merasa tidak bertenaga dan kerap mengantuk saat kuliah. Saya kembali memutar otak, apakah saya depresi? Cocok sekali dengan trias depresi: anhedonia, anergia, mood hipotim. Dan ini terjadi ketika saya sedang kuliah Gangguan Perasaan saat kelas Psikiatri.

Saya jadi teringat dulu saya sempat mengalihbahasakan artikel Medical Student Syndrome menjadi Sindroma Mahasiswa Kedokteran di sebuah artikel Wikipedia ketika saya masih aktif sebagai wikipediawan. Sindroma ini memang tidak tercatat dalam lema di PPDGJ III atau bahkan DSM IV. Sebenarnya, sindorma ini adalah sinonim dari sebuah hipokondriasis, sebuah gangguan jiwa dengan adanya keawasan yang berlebihan terhadap kesehatan dirinya. Bedanya, pada sindroma ini sifatnya lebih khusus ke mahasiswa kedokteran.

Mungkin ini dirasakan oleh seseorang, bahwa semakin seorang mahasiswa kedokteran belajar berbagai penyakit dalam berbagai sub ilmu, bahwa ia semakin mahfum bahwa diri manusia yang hanya satu-satunya ini dapat diserang oleh beribu-ribu penyakit mulai dari kongenital, otoimun, degeneratif, neoplasmik, traumatik, metabolik, infektif, dan lainnya. Dan penyakit ini pun beragam muka dari yang self-limiting hingga mengancam nyawa.

Dengan ini dapat saja timbul ancaman bahwa salah satu penyakit ini bisa saja timbul. Ya, bisa saja. Dari satu gejala dan tanda dapat mendiferensiasikan berbagai diagnosa banding dari yang berawalan A hingga Z. Anggaplah sakit perut kanan bawah, bisa saja menimbulkan appendicitis, demam typhoid, salphingitis, ureterolithiasis, invaginasi atau volvulus, dan lainnya. Atau bahkan tidak ada apa-apa sampai tidak tahu mengapa, idiopatik.

Inilah yang sistem pemikiran yang terus menerus diajarkan kepada mahasiswa kedokteran. Pemikiran induktif menuju ke sebuah diagnosa. Mungkin saja pikiran ini dibawanya hingga ke kehidupan sehari-harinya. Hingga apa yang terjadi pada dirinya bisa saja terdapat sesuatu yang perlu diperhatikan.

Entah mungkin apa hal ini yang terjadi pada saya. Berbeda denga riset yang dilakukan di India, bahwa sindroma ini lebih sering teridap oleh mahasiswa kedokteran tingkat pertama. Tetapi saya masih kadang-kadang merasa hingga saya di tingkat empat. Di tingkat lima kini memang sudah semakijn berkurang karena, -hipotesa saya- saya sudah melihat langsung bagaimana dinamika penyakit.

Dan hipotesa saya lagi, untuk menghilangkan pemikiran-pemikiran ini ialah dengan berpikir positif dan menjaga kebugaran tubuh. (Saya pun kembali mengamati diri ini, yang mana fascia camperinya semakin menggelembung dan kian menggelembung di saat ini hingga memberikan gambaran perut yang siap dileopold. Huaaa....)

Untuk rekan-rekan mahasiswa kedokteran: apakah Anda pernah mengalami sindroma mahasiswa kedokteran ini dalam hidup Anda?

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: