Rabu, 04 Juli 2012

Renungan PTT Bulan Ke-3: Biaya Jasa Konsultasi Dokter yang Terlupakan

Siapa yang di dunia ini tidak mau tidak dihargai? Tentu semua orang mau untuk dihargai selayaknya dan sewajarnya. Menghargai adalah suatu keinginan dari semua manusia. Penghargaan adalah suatu keinginan tertinggi, bahkan suatu bentuk aktualisasi diri, yang menjadi puncak dari kebutuhan manusia menurut Teori Maslow.



Saya sebagai dokter pun ingin dihargai selayaknya kami dihargai. Saya menghargai Anda, Anda pun menghargai saya. Suatu hal yang sudah tercantum erat dalam aturan emas.

Tulisan ini berawal dan tercetus dari pengalaman tadi siang bahwa ada pasien yang menghitung-hitung harga obat satu per satu karena menurutnya biaya berobatnya mahal. Ia tidak menghitung sesuatu yang disebut biaya konsultasi atau biaya jasa dokter. Pelayanan medis bukanlah pelayanan farmasi semata. Memang, jika dibalik, pelayanan farmasi adalah salah satu bagian pelayanan medis.

Dokter di desa-desa seperti saya ini memang tidak memiliki apotik, sehingga saya perlu menyediakan obat yang saya anggap perlu untuk pasien saya. Tak jarang saya juga harus mencari kesana kemari di kota untuk obat yang tidak ada pada distributor. Saya pun mencari obat yang kami anggap optimal bagi pasien, karena saya pun harus memikirkan bagaimana kantong pasien di desa. Kalau saya memilih bersikap tak mau tahu, tentu obat bermerek yang nilainya hingga ratusan ribu rupiah mungkin bisa saja saya bebankan. Namun semuanya diperhitungkan sedemikian rupa hingga semua pun baik bagi pasien dan juga tentu baik bagi saya.

Memang dalam renungan saya sebelumnya, bahwa saya memiliki pikiran apakah biaya yang saya bebankan menambah sekali derita pasien. Namun di satu sisi, saya pun harus memikirkan isi dapur dan masa depan saya. (Anak istrinya saya mau makan apa nanti?) Saya pun mendapat ilham generalisasi bahwa semua hal di dunia ini perlu sedikit surplus bagi siapapun yang menjalani usahanya. Kalau tidak dia mau makan apa? Tentu dalam penentuan surplus tidaknya ini harus mempertimbangkan banyak hal, jangan sampai keterlaluan. Lagi-lagi sewajarnya. Sesuai dengan teori analisis transaksional Thomas Harris: I'm OK, you're OK.

Sembari menulis ini saya mengingat kembali kata-kata dari guru saya, dr. Djoko T. Basuki Sp.OG, bahwa, "Kamu harus PTT, untuk mendewasakan diri kamu sebagai dokter." Ya, saya setuju. Setidaknya inilah yang berkecamuk dan berbaur dalam pikiran saya, segala idealisme saya dipadukan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat, membentuk sesuatu hal yang disebut realitas kehidupan seorang dokter.

Selamat datang dalam rimba raya kedokteran.

2 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Hahhaa...... tetap semangat dr.Hau....

    Memang terkadang jasa konsultasi menjadi seakan-akan pudar atau hilang dari suatu transaksi, terutama bila pasien membayar jasa dokter sekaligus bersamaan dengan biaya obat.... Pasien secara tak langsung pasti akan berpikiran "loh, kog biaya obatnya mahal ya ? Padahal kalau seandainya tidak diberikan obat mungkin akan jauh lebih murah...."

    Mungkin satu contoh yang dr.Hau paparkan belum bisa digeneralisasikan bahwa pasien tidak menghargai jasa konsultasi dengan dokter. Sebagai gambaran bahwa kebanyakan pasien yang berobat ke dokter "tanpa obat" atau harus membeli obat di apotek, secara spontan pasti akan bertanya, "dok, berapa biaya/jasa dokternya ?"

    Menurut saya itu salah satu dari wujud penghargaan pasien terhadap jasa konsultasi dokter... Mungkin memang agak rancu/pudar bila "pembayarannya" dijadikan satu dengan obat....

    Itu menurut pendapat saya saja, mohon maaf bila kurang berkenan...

    BalasHapus
  2. Yup, terima kasih dr. Pram atas pendapatnya :)

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: