Setelah dua bulan ini dengan segala keunikannya, dengan segala dinamikanya, dengan bergejolak antara kekuasaan dan nurani. Berbagai hal saya alami, walau mungkin tidak se-wah pengalaman bila di Papua atau NTT. Namun saya mendapatkan sesuatu.
Saya pun senang ketika masyarakat mulai mengenal saya. Ketika saya berada di depan rumah atau menunggu bus, masyarakat mulai menyapa "Pak Dokter". Saya pun senang dan mendapatkan pengalaman ketika pasien-pasien yang saya rawat mendapatkan perbaikan kesehatan. Walau saya sadari bahwa kebiasaan saya merawat pasien sudah lama sekali sejak terakhir di koas.
Saya kadang-kadang pun harus berpacu dengan adrenalin. Hal ini saya dapatkan kemarin ketika melakukan resusitasi bayi baru lahir (neonatus) dengan kondisi yang buruk. Satu menit tanpa nafas membuat saya terus terang panik dan memberikan kompresi dada serta pernapasan mulut ke mulut. Dulu saat koas saya mungkin masih tenang karena ada teman satu koas, atau paling tidak dokter jaga. Namun kini semua ada di pundak saya. Untungnyalah ada suara tangisan bayi lemah ketika diresusitasi. Puji Tuhan, Kau berikan nafas kehidupanMu melalui aku.
Di sini saya teringat pada kutipan di Kitab Sirakh 38:12
Tetapi berikanlah tempat kepada tabib juga, sebab ia pun diciptakan Tuhan, janganlah tabib jauh daripadamu sebab kau butuhkan pula.
Then let the doctor take over -- the Lord created him too -- do not let him leave you, for you need him.Saya merasa bahwa menjadi dokter ini suatu hal yang berbeda. Suatu hal yang menyangkut manusia, kesehatan manusia, kegembiraan manusia, kesedihan, kedukaan, kehidupan, kesakitan. Saya senang bahwa saya bisa membantu meringankan sedikit beban mereka.
Suatu hal yang saya sadari pula dalam profesi ini. Saya kadang merasa dan berpikir, pantaskah aku menarik dana dari mereka? Saya tahu bahwa jasa adalah sesuatu yang dapat dihargai dan dapat dinominalkan. Saya pun perlu uang untuk kehidupan saya. Namun memang menarik uang dari orang yang kesakitan, menjadi suatu buah pikir bagi saya.
Saya bersama Bu Nia dan Bu Yones, di Poli Umum Puskesmas Menjalin |
Saya sudah merasakannya, bahwa menjadi dokter di desa ini sudah mendapat nominal yang memadai untuk hidup. Mungkin selain pengeluaran yang tak setinggi di kota, "daya beli" terhadap jasa (dan obat) tetap lebih tinggi dari kota. Walau demikian kadang-kadang saya masih terpikir dalam benak saya, berapa pasien harus membayar jasa saya. Mampukah mereka? Ataukah jangan sampai saya malahan menambah beban bagi mereka. Namun entahlah, mungkin ini hanya suatu bisikan saja, bisikan yang mungkin juga terlalu berlebihan. Tetapi saya yakin bahwa ini dapat menjadi pemandu bagi saya untuk tetap waspada dan memperhatikan hati pasien, beban pasien, dan jangan sampai menjadi seorang dokter yang kehilangan hati nuraninya karena terus mencari bongkahan berlian.
Saya teringat pada kutipan dari Pak Mega (Pak Tomas Apon), Kepala Puskesmas Kecamatan Menjalin, "Mungkin ada sesuatu yang kita ingin secara manusiawi, namun semua kembali ke nurani. Bekerja yang penting adalah dengan bahagia, dan uang bukanlah segalanya."
Jadiii .. elu dah dapet gaji blum hau?
BalasHapusBelum hahahaha
BalasHapus