Rabu, 20 Februari 2013

Untuk Pak Ahok: Jangan Kejar Dokter, Tetapi Kejar Oknumnya

Ahok: Kalau Dokter Tidak Mau Tolong Orang Miskin, Kami Kejar Anda!

"Bagi saya yang penting nyawanya kita tolong. Saya bilang sederhana saja, rumah sakit tidak perlu bayar, kan bisa hidup karena APBD. Kelas III saja anda urus. Di kelas I dan kelas II silahkan cari untung.

Kalau kelas III Anda masih peras uang rakyat, saya sudah kerjasama sama orang Pajak. Dokter paling takut sama orang Pajak. Kalau kami ditagih terlalu mahal dan rumah sakit tidak bisa buktikan, kami akan kejar Anda, kerjasama PPATK. Jadi tahu persis transaksi Anda. Saya akan tagih pajak Anda. Saya hanya minta Anda bayar. Saya tahu mobil, listrik, rumah yang Anda bayar. Kalau nggak mau kerjasama dengan kami menolong orang miskin, kami akan kejar Anda!," tegas Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat berbicara tentang Kartu Jakarta Sehat di depan para dokter di RSUP Husada, Jl Raya Mangga Besar. (detik)

Saya dikirimkan sebuah pesan dari sejawat saya sesama Dokter PTT, ia mengirimkan satu tautan dari Facebook yang berisikan foto dan berita dari akun Partai Gerindra seperti yang tersebut di atas. Saya sebagai Dokter dan fans Jokowi-Ahok merasa perlu untuk berkomentar.


Di sana dituliskan bahwa Pak Ahok berkata: "Kalau kelas III Anda masih peras uang rakyat, saya sudah kerjasama orang Pajak. Dokter paling takut sama orang Pajak..dst...Kalau nggak mau kerjasama dengan kami menolong orang miskin, kami akan kejar Anda."

Dokter dan Pajak

Saya rasa keliru untuk mengatakan bahwa Dokter paling takut sama orang Pajak. Di sini diberi kesan secara implisit bahwa "Dokter menggelapkan pajak." Menurut saya penggunaan kata "Dokter" keliru. Apakah IDI atau profesi ini ada menganjurkan untuk menggelapkan pajak? Tidak ada. Apakah dalam fakultas kedokteran ada dikatakan demikian? Tidak ada. Apakah "Dokter" (baca: Profesi Dokter) yang melakukan ini? Bukan! Jadi, bukanlah "Dokter" di sini. Yang bermain di sini adalah oknum-oknum yang ada. Tidak bijak menggunakan frase pars pro toto, sebagian untuk seluruhnya.

Jadi saya tidak rela, profesi saya disebut penggelap pajak. Jika ada yang berlaku demikian, kejar mereka. Jangan kejar profesi dokter.

Dokter dan Orang Miskin

Jelas sejelas-jelasnya, bahwa dokter tidak boleh memandang sosioekonomi dalam menolong. Kami bukan pedagang yang tak ada uang tak ada barang. Dalam lafal Sumpah Dokter Indonesia jelas: "Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan."

Tetapi perlu diketahui, Dokter bukan dewa. Dokter akan bekerja keras sekuat tenaga demi pasien, sesuai dengan sarana dan fasilitas yang ada. Saya di desa, juga mengobati semua orang dengan prasarana dan sarana semampu kami. Jika ada yang sanggup membayar jasa, ya saya mendapatnya. Menerima imbalan atas jasa yang layak sesuai dengan jasa adalah hak bagi setiap pemberi jasa, termasuk Dokter. Tetapi pertolongan dokter terutama didasarkan pada perikemanusiaan. Di sinilah poinnya.

Namun, Saya dan tenaga kesehatan di desa saya (termasuk bidan) sendiri juga seringkali tidak dibayar oleh pasien, terutama pasien kecelakaan atau pasien mabuk setelah semalam suntuk menjahit luka. Apakah saya atau kami ini menuntut ke polisi karena saya tak dibayar? Secara hati nurani saya, tidak. Saya merasa tidak patut. Saya telah menjalankan kewajiban saya walau hak saya tertinggal. Tetapi ketika keadaan berbalik, kami dianggap tidak pro orang miskin, tentu saya pun kecewa.

Dan juga dokter juga wajib merujuk pasien bila diluar kemampuannya. Misalnya pada kasus yang tak bisa ditangani, bukannya ini dokter menolak pasien. Namun celaka tiga belas, jika pasien tersebut kebetulan miskin dan menjadi makanan media massa. Dokter menjadi sasaran empuk. Kata "merujuk" berpeyorasi menjadi "menolak". Sungguh suatu hal yang keliru.

Tetap Harus Netral

Tak ditampik, dokter saat ini mudah terjerumus dan dijerumuskan. Media massa dengan mudahnya membumbung tinggikan berita tentang dokter. Lihat saja kasus Dera, yang akhirnya ke KJS, dan akhirnya merembet ke pengejaran Dokter atas penggelapan pajak. Ya, sekali lagi profesi ini empuk untuk disasari.

Namun, kita pun perlu memandang dengan kedua belah mata. Sisi baik dari suatu profesi. Tidak semua dokter demikian. Katakan yang baik pada yang oknum yang baik. Katakan yang buruk pada oknum yang buruk. Tapi jangan buruk muka cermin dibelah, jangan salahkan sisi sang profesi yang tidak tahu-menahu.

 

 

7 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Komen sedikit boleh ya Pak Dokter :)

    Alangkah indahnya dunia kalau semua dokter punya cara pikir yang sama dengan anda dalam menghadapi pasien. Tapi mari tidak kita pungkiri banyak dokter (bahkan tidak cuma di Indonesia) yang gelap mata oleh materi. You pay what you get, prinsip yang melekat di pikiran beberapa dokter. Gelap mata, haus duit. Di setiap rumah sakit besar ibukota pasti ada saja dokter semacam ini.

    Dokter-dokter semacam ini yang menjadi sasaran Ahok. Well gotta admit, Ahok cukup salah menggeneralisasikan seperti itu, tapi gw yakin sebenarnya dokter-dokter bijak yang mendengar kata-kata Ahok itu tidak akan tersinggung, karena mereka yakin mereka tidak melakukan penggelapan pajak atau pilih kasih pasien seperti yang disasarkan Ahok.

    So what's the big deal? Betul Ahok salah menggunakan kata-kata, tapi kalau dokter yang tidak merasa melakukan hal-hal yang disebut Ahok, buat apa takut atau tersinggung? Saya yakin anda mengerti maksud Ahok, siapa yang ditujukan, so what's the big deal I ask you again. Pencemaran nama dokter? Mau nuntut Ahok? Untungnya apa? Menuntut orang yang ingin membersihkan nama dokter dari dokter-dokter tidak bertanggungjawab atau dokter-dokter kotor, IMHO wasting time sekali.

    Maaf kalau ada salah kata, hanya mencoba berpendapat :)

    BalasHapus
  2. @Arief: thankss commentnya :). Sebenarnya yang juga menjadi poin saya adalah menyelamatkan citra dokter yang sudah (terlanjur) memburuk. Karena berita dokter itu sangat renyah sekali di masyarakat. Sedikit-sedikit langsur cetar membahana, kata Syahrini hehehehe. Walau tak dipungkiri ada sebagian (ntah sebagian besar atau kecil) yang menyalahgunakan profesi ini. Saya ingin menunjukkan "sisi putih" dari profesi dokter. Jangan sampai kelak persepsi di masyarakat tiap melihat dokter sudah berpikiran negatif soal profesi ini. :)

    BalasHapus
  3. Betul sekali pandangan lo Hau, profesi dokter dianggap 'lahan basah' oleh sebagian besar masyarakat. Seolah-olah secara implisit menyatakan bahwa dokter identik dengan kaya. Padahal, saya yakin, hampir semua dokter menangani pasien atas dasar kemanusiaan. Mohon dibedakan antara pelayanan kesehatan dengan bisnis/industri kesehatan. RS ataupun klinik jelas merupakan industri kesehatan, mereka harus mengenakan charge kepada pasien untuk menghidupi para karyawannya. Beda halnya dengan dokter praktik pribadi, bisa dikatakan cost operasionalnya tidak terlalu mahal. Jadi, jangan terlalu mengharapkan RS ataupun klinik untuk 'menggratiskan' semua pasien, apalagi RS yg tidak disubsidi pemerintah. Namun demikian, sesuai dengan UU Kesehatan dan RS tahun 2009, memang sudah jelas dinyatakan bahwa untuk urusan gawat-darurat (sekali lg, hanya untuk kasus gawat-darurat), RS ataupun sarana layanan kesehatan lainnya TIDAK boleh menolak pasien. Bila memang 'penolakan' tersebut terjadi karena keterbatasan bed ataupun fasilitas kesehatan lainnya, itu lain soal. Bagaimana mungkin memaksakan pasien dengan kebutuhan khusus dengan peralatan yg tidak memadai, padahal di UU sudah jelas pula dinyatakan bahwa dalam hal demikian, RS ataupun sarana layanan kesehatan WAJIB merujuk pada sarana layanan kesehatan lainnya yg lebih mampu menangani ?? Dalam arti, RS tipe C paling tidak merujuk ke RS tipe C lain yang setara atau ke RS tipe B, jangan merujuk pada RS tipe D yg notabene fasilitasnya tidak selengkap RS tipe C. Hal-hal seperti ini keliatannya memang kurang dipahami oleh elit politik kita, mereka hanya bisa koar2 atas nama rakyat (katanya), padahal tidak mengerti sistem. Statement Ahok saya tidak menyalahkan, tergantung bagaimana profesional dokter membaca dan meresapkannya dalam hati masing2..Secara pribadi saya tidak tersinggung, tp saya setuju dengan pernyataan Hau bahwa lebih tepat digunakan istilah 'oknum'..=)

    BalasHapus
  4. Untuk Ahok jangan asal ngomong sampeyan. Ane kagak takut ama orang pajak. Ane takutnya ama Tuhan. Nyawa orang bukan di tangan dokter tapi di tangan Tuhan. Baru jadi wagub aja banyak tingkah lu Hok!!!

    BalasHapus
  5. Ahok..ahok.. Lu bagus. Lebih bagus diam klo ga tau apa-apa. Omongan lu cuma jatuhin kredibilitas lu. Dimana rame publikasi media, disanalah lu banyak bacot.

    BalasHapus
  6. nggak apa apa kalau katanya orang takut sama orang pajak, karena memang itulah yang dirasakan oleh semua wajib pajak, kita dapat uang dengan keringat sendiri, namun dengan pajak, jumlahnya berkurang.... pajak nya segera ditransformasikan jadi barang dan jasa untuk membuat ku bangga bisa nggak dul, hoi orang pajak... kebanyakan pake uang untuk urusan birokrasi dan formalitas nggak mutu terus

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: