Senin, 11 Maret 2013

Kisah Saya, Tenaga Medis di Indonesia

Mungkin judul di atas terlalu bernada sedikit angkuh. Tapi hal ini yang sekelebat saya teriakkan di dalam hati saya. Apa salah saya sebagai tenaga medis di negeri ini?

Di negeri ini, dokterlah sebagai tameng, dan katanya akan dipecat karena dianggap "menolak" pasien karena ruangan penuh. Menjadi salah kami kah ketika ruangan penuh sesak pasien? Saya sendiri seumur hidup saya menjadi dokter di tempat saya belajar dan sampai di tempat saya bekerja sekarang, saya tidak pernah melihat instansi saya bahkan sejawat saya menolak pasien. Menolak pasien di sini berarti kami tak mau merawat pasien dan membiarkan pasien. Tidak pernah! Saya tetap melaksanakan seoptimal dan semaksimal yang kami bisa. Walaupun pada akhirnya pasien tak mau dirujuk, kami juga memberikan pelayanan semaksimal kami yang kami mampu.

Di negeri ini, dokterlah yang sering diketuk pintunya atau berdering teleponnya dengan keadaan apapun. Mau sedang makan, sedang tidur, sedang bermain dengan anak. Kami tidak bisa bilang: "Oh ini waktunya saya di rumah, maaf jangan ganggu saya." Dokter bekerja 24/7, lembur yang tak terkira. Bahkan ketika keluarga tidur, anda tidur nyenyak, kami masih bekerja.

Di negeri ini, dokter memeriksa laboratorium sudah disangka ingin mengambil untung dan komisi. Duh! Parahal pemeriksaan penunjang adalah salah satu bagian dari penegakkan diagnosis. Tentunya kami pun sudah memikirkan apa-apa saja yang perlu diperiksa. Namun ketika pasien kita berobat ke rumah sakit di luar negeri dan diperiksa A sampai Z, pasien diam tanpa kata protes. Sedangkan ketika kami mau memeriksa darah rutin saja untuk pasien demam, sudah disangka ingin mengutip tilang lalu masuk ke kocek sendiri dan dianggap lebih jahat dari Polantas oleh salah satu anggota dewan.

Di negeri ini, ketika bayi prematur sekian ratus gram meninggal, ini salah dokter! Dokter harus dituntut sampai ke liang kubur. Tapi ketika pasien diabetes berobat ke klinik-klinik alternatif, menggelotorkan jutaan rupiah untuk "herbal-herbal", dan akhirnya meninggal karena ketidakstabilnya glukosa darahnya. Seringkah terdengar klinik alternatif itu dituntut?

Di negeri ini, dokter (terutama dokter umum) dianggap merampok uang pasien. Tapi tak pernahkah terpikirkan betapa dokter umum membanting tulang kerja di klinik 24 jam? Tak pernahkah terpikir kami dokter umum di daerah terpencil di seluruh Indonesia ini pernah 3 bulan bergaji kurang dari sepertiga hak kami? Sedangkan kami tetap harus bertahan hidup di pedalaman negeri ini?

Di negeri ini, terutama daerah terpencil, kami sudah terbiasa dihutangi pasien. Tapi kami tak pernah menaruh dendam dengan mereka. Walaupun mereka lagi, kami tetap layani. Kami hanya berpegang pada kemanusiaan.

Di negeri ini, kami menjadi makanan jurnalis. Sedikit berita kami menjadi bombastis. Dan entah langsung talkshow atau berita apapun menjadi primadona di layar kaca. Dan kami dicecar. Kami dianggap malpraktik, kami dianggap jahat, dianggap tak berhati. Pernahkah kalian berpikir sebaliknya, apakah yang dilakukan media massa ini berhati atau mencari sensasi? Ke mana aturan emas pergi?

Ya itu keluh kesah. Tapi kami tak pantas berkeluh kesah dalam kerja dan karya kami. Itu semua kebanyakan kami simpan dan tetap lanjut berkarya. Walaupun hati ini pun terasa teriris pedih.

 

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: