Rabu, 06 Maret 2013

Pertanyaan "Sepele" Kepada Pasien

Suatu hal yang masih saya ingat dan tidak lupa saya lakukan saat melakukan anamnesis atau visite adalah sedikit berbasa-basi dengan pasien. Mungkin ini bukan basa-basi biasa.


Perihal saya dapat dari salah satu guru saya saat di Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya. Ya, tiga atau empat tahun yang lampau. Saat itu saya tengah ronde pagi (keliling memeriksa dan melaporkan keadaan pasien) bersama dr. Iwan Irawan, SpB. Kami di Atma Jaya sudah bak residen (peserta didik dokter spesialis). Semua harus detail kami perhatikan. Suatu saat itu, saya sudah hapal luar kepala apa yang perlu saya laporkan dari keluhan pasien, hasil pemeriksaan, diagnosis, dan rencana tatalaksana yang diusulkan untuk disetujui (SOAP, kami menyebutnya). Di satu titik saya tiba-tiba ditembak oleh konsulen, "Di mana Bapak ini tinggal?" Saya pun mulai buyar. "Ia berapa bersaudara?" Nah lo, pikir saya dalam hati. "Ini perlu kamu tahu, supaya memungkinkan tidak dia konsultasi lanjut, yang mengantarnya, dan lainnya... Lalu kemudian kemarin dia bisa tidur atau tidak?"

Mungkin saat itu saya berpikir, hal itu sepele. "Untuk apa sih saya perlu tahu hal itu? Apa mungkin kelak saya perlu tahu zodiaknya apa?" Tapi pada akhirnya keluh kesah ini menjadi makna pada kemudian hari.

Ya, tampak sepele. Tapi itu memiliki banyak makna.

Pertama, seperti yang ditekankan alm Prof Sidharta dalam bukunya dan alm dr. AJ Gozali SpPD waktu dulu mengajar. Anamnesa atau wawancara pasien itu penting. Konon 70-80% diagnosis akan tegak. Jadi, kita harus banyak bertanya pada pasien. Tapi apa hubungannya kelak dengan pertanyaan "sepele" itu? Ya, kita bisa akan banyak tahu soal kebiasaan atau sedentary lifestyle yang bisa memicu gangguan kesehatannya.

Kemudian kita bisa memperkirakan bagaimana tatalaksana lanjut pasien. Seperti saya di Menjalin, banyak desa-desa sangat terpencil. Maka kira-kira kita dapat tahu bagaimana mengedukasi atau berpesan pada pasien, walau memang realisasinya pun dipertanyakan. Namun kita telah melakukan hal yang seharusnya.

Kedua, ini bisa membangun relasi dengan pasien. Salah satu kawan saya, Ricky, mengatakan demikian, "Itu menambah kepercayaan pasien terhadap kita dan pasien serta keluarganya jadi merasa diperhatikan banget."

Ya, banyak keluarga yang senang ditanya dimana, bagaimana dirinya. Apalagi pasien lansia yang ditanya berapa cucu dan cicitnya. Mereka senang sekali, walau mereka tengah terbaring lemah.

Saya pun sering juga visite sambil sedikit bergurau agar suasana menjadi lebih cair antara dokter dan pasien. Dan pertanyaan-pertanyaan sepele itu pun membuat suatu cerita yang bisa diperbincangkan antara pasien dan dokter. Apalagi di desa, bisa terkuak gosip-gosip desa (loh?). Hehehe...

Memang walau demikian saya menyadari tidak semua hal kepada pasien ini saya terapkan kepada keluarga atau rekan saya diluar relasi pasien. Tapi entah kenapa saya lebih selesa jika melakukannya bersama pasien. Entahlah... (Jadi curcol? :p)

 

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: