Rabu, 27 Maret 2013

"Dokter, Tidak Akan Marah Kok"

Ada cerita unik, ketika saya bertemu dengan seorang ibu di rawat inap Puskesmas.

Saya: "Malam bu. Gajah, kitak agik ampus ka Puskesmas. Ada ahe nian?" (Malam bu. Ya ampun, Anda lagi datang ke Puskesmas. Ada apa ini?)

Ibu: "Auk Pak Dokter a. Itulah kami punya kaluarga ayak, manyak bapage. Tumare koa pak uda ku, nang ampeatn koa ipar ku" (Iya Pak Dokter. Itulah kami keluarga besar, banyak saudara. Kemarin itu om saya, sekarang ipar saya.)

Saya: "Ooo... Lekoa." (Oooo... Begitu.)

Lalu saya bersama ia masuk bersama Om Saibu, staf Puskesmas yang sedang dinas sore. Singkat cerita kami banyak berbicara, terutama tentang "pak uda"-nya yang sakit 2 hari yang lalu. Pak uda-nya ini dirawat di Puskesmas dan kemudian dirujuk ke Pontianak untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

Namun, Bapak ini sebelum dirujuk sempat membuat "heboh" Puskesmas. Sebenarnya ia sudah mau dibawa rujuk ke Pontianak pada pukul 22:00 malam setelah semua keluarga dari Pontianak bersepakat. Namun pasien tersebut berkata lain dan keras kepala tidak mau dibawa, dan saya pun berusaha membujuk Bapak itu juga sampai ia berbicara kalimat pamungkasnya dengan suara agak tinggi, "Ba'i aku diincakng ka Pontianak. Parasaatnku tak nyaman, bisa calaka kita." (Tak mau saya dibawa ke Pontianak. Perasaanku tidak enak, bisa celaka kita.") Ya ini adalah kalimat pamungkas seperti yang saya katakan, tidak ada yang berani memaksa lagi jika ada yang berkata demikian. Hingga akhirnya keadaan memburuk dan pasien meminta sendiri untuk merujuk lagi pukul 03:00 pagi.

Bagaimana perasaan saya yang dibangunkan dua kali "hanya" untuk menyetujui rujukan di tengah subuh dan mimpi indah karena pasien yang tampaknya "keras kepala"? Ya seketika mungkin rasa dongkol, tapi saya selalu merasa tak elok mengungkapkannya.

Si ibu yang saya bertemu pada awal tulisan ini berkata ternyata ada sesuatu yang terjadi pada keluarganya, bisa dikatakan konflik keluarga baik vertikal dan horizontal. Mungkin sebagai suatu mekanisme defensi secara emosional dari si Bapak ini, ia berbuat demikian, berbuat menolak pendapat-pendapat keluarganya.

Ibu itu mengatakan sesuatu yang menyentuh hati, "Oh ya Pak Dokter. Bapak titip pesan, ketika saya bertemu dengan Pak Dokter. Bapak minta maaf karena sudah bera (marah) ke Pak Dokter. Dia tidak bermaksud demikian. Saya katakan padanya, Dokter tidak akan marah." Di satu sisi saya tersentuh dan menjadi teringat akan sang Bapak, dan kedua ada pesan eksplisit dari si ibu, "Dokter tidak akan marah". Ya ada suatu ekspektasi atau harapan dari pasien.

Dokter yang pemarah pun pernah saya temui sejak dari pendidikan sampai sekarang. Banyak dokter yang kadang tersulut emosi ketika beban pikiran begitu berat dan belum lagi masalah lainnya selain masalah pasien. Pekerjaan dokter memang riskan untuk mengalami tekanan mental yang luar biasa. Tapi pasien, perawat, rekan kerja pun tak ada yang mau kena omelan bukan? Manusia setengah dewa ini, memang digadang-gadang menjadi seseorang yang welas kasih dan lembut.

Ya, saya pun agak menyesali sikap dongkol saya subuh itu setelah mendengar cerita itu, karena saya sudah keburu marah dan ternyata tidak ada maksud Bapak itu dengan sengaja. Dia hanya perlu waktu untuk mengungkapkan kekecewaannha pada keluarganya itu.

Saya pun perlu terus belajar mengelola emosi. Walau demikian, pasien tetap sesama. Kalau Anda menjadi pasien, maukah Anda atau bagaimana perasaan Anda jika dokter Anda marah atau paling tidak, jutek? Tentu tidak ada yang mau. Aturan emas lagi-lagi berlaku.

Pasien pun harus mengelola emosinya juga, walaupun demikian, pendapat saya, posisi dokterlah yang harus lebih legawa untuk menahan emosinya. Jika tidak ada satu pihak yang legawa atau tepa selira, maka timbullah masalah lainnya yang tak kunjung padam. Setuju?

 

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: