Minggu, 24 Maret 2013

PTT: Suatu Kebersyukuran

Ketika saya mengetik ini, saya berada di hari ke-7 sebelum masa bakti PTT saya berakhir sesuai dengan Surat Keputusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Suatu hal yang tak sangka saya bisa jalani sejauh ini. Suatu hal yang menjawab keraguan saya 358 hari yang lalu.

Dokter PTT Pusat Kabupaten Landak, TMT 2012

Pada saat pendaftaran lamaran kerja sebagai dokter PTT dan bersaing dengan ribuan dokter pelamar lainnya, tujuan saya hanya dua. Satu untuk memparipurnakan Surat Masa Bakti, dan kedua, tampaknya belum afdol menjadi dokter di Indonesia, kalau tidak menjalani PTT. Ya, sebagai dokter yang ditempatkan ke daerah terpencil adalah pengalaman tersendiri, yang bahkan tak pernah akan dialami oleh dokter di Singapura sekalipun!

Awal Mula PTT

Puskesmas Menjalin

Saya dulu melamar sebagai dokter umum di Kabupaten Landak dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang menjadi provinsi kampung halamanku. Keduanya saya mencentang dengan kriteria terpencil. Terus terang, saya harap-harap cemas. Karena tidak semua pelamar yang jumlahnya ribuan ini bisa diterima, dan saya bersyukur ketika nama saya tercantum di website biro kepegawaian Kemenkes untuk bertugas di Kabupaten Landak selama 1 tahun.

Kabupaten Landak ini memang memiliki hubungan batin dengan saya, karena keluarga ayah saya kebanyakan lahir di Kecamatan Ngabang, yang kini menjadi ibukota kabupaten. Saya masih tidak tahu sama sekali di mana saya akan ditempatkan, sampai beberapa jam saya tiba di Ngabang untuk mendapat surat tugas dari dinas kesehatan kabupaten. Saya awalnya ditempatkan di Kecamatan Mandor yang sering saya lewati kalau menuju Ngabang, namun saya diminta bertukar untuk ditempatkan di Kecamatan Menjalin, suatu tempat yang tidak pernah saya tahu sebelumnya, yang suasananya lebih terpencil walau satu kriterianya sama. Karena saya dokter laki-laki, saya mencoba menjawab tantangan. Walaupun demikian, petualangan nan indah ini dimulai dari Menjalin.

Kesan Pertama Menjalin

Menjalin? Nama yang unik. Terus terang, selama hidup saya di Kalimantan Barat sampai saya SMP kelas 3, saya belum pernah mendengarnya. Dan saya tibalah di kecamatan ini bersama petugas yang mengantarkan saya, setelah mengantar rekan saya dari Mandor. Saya melewati jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu kendaraan di sore hari dan mati lampu pula. Jalan ini kelak saya sadari adalah jalur Sembora, salah satu jalan pintas dari Mandor menuju Menjalin melalui Toho.

Saya tiba si kecamatan nan gelap gulita (saat itu sedang mati lampu!), sinyal handphone yang datang dan pergi sesuka hatinya. Saya melihat rumah dinas yang akan saya tempati dalam terang senter dan lilin. Saya masih ingat, saya disambut oleh Bu Nia (perawat yang tinggal di kompleks Puskesmas) dan Kak Agnes (Bidan yang sementara menempati rumah dinas dokter, karena dokter sebelumnya perempuan). Karena saat itu saya masih belum bisa menempati rumah karena belum dibersihkan, saya menginap sementara di rumah Pak Thomas Apon, Kepala Puskesmas saat itu.

Saya saat itu termenung, apakah ini tempat saya? Tahankah saya? Apalagi lampu saat itu belum menyala sampai pukul 22:00. Sinyal handphone pun tampak hilir mudik saat saya mau mengabarkan kedua orangtua di Pontianak. Saya tak mungkin menangis, inilah tantangan, pikirku.

Keesokan harinya, Rabu, satu hari sebelum Kamis Putih. Saya diantar Pak Mega (Nama lain Pak Thomas, karena di sini lebih sering memanggil nama Bapak/Ibu dengan nama anak pertamanya), menuju Puskesmas yang kemarin tampak temaram. Dan kejutannya, tidak seburuk yang saya sangka. Saya pertama kali bertemu Bu Yones (Mak Dela), Bidan Morni (Mak Ryan), dan staf lainnya. Masih sedikit kagok-kagok, karena pada dasarnya saya pribadi yang perlu waktu untuk beradaptasi. Dan saya pun kesulitan berkomunikasi dengan pasien-pasien yang tua yang tak bisa berbahasa Indonesia.

Saya pun kemudian meminta ijin untuk mempersiapkan barang-barang untuk rumah dinas dan sekaligus merayakan Paskah sebelum memulai tugas di minggu berikutnya. Dan saat itu saya mulai mempelajari dan mencari tahu mengenai kecamatan saya. Dari peta baru saya sadari bahwa Menjalin adalah sebelah utara dari Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak yang terkenal dengan gua Maria-nya. Saya baru sadari juga bahwa kecamatan ini justru lebih dekat dengan Pontianak, dibandingkan Ngabang! Kecamatan ini dapat terjangkau dengan bus dalam provinsi dalam 2,5-3 jam dari Pontianak.

Menjalin adalah tempat yang cukup ideal buat saya. Terlalu ramai tidak, terlalu kecil tidak. Dengan jumlah 8 desa, penduduk 20.000-an, Kecamatan Menjalin adalah kecamatan terkecil kedua di Landak setelah Kecamatan Meranti. Di Menjalin pula menyimpan nilai tradisi Dayak Kanayatn yang kental dan pusat syiar agama Katolik. Nyaris 95 persen, menurut perkiraan saya, penduduk di sini beragama Kristen dengan denominasi mayoritasnya Katolik. Jadi, saya pun tak perlu bersusah payah mencari gereja untuk misa.

Belajar Bahasa

Di sini pula saya banyak belajar tentang bahasa setempat. Pada dasarnya, saya memang suka mempelajari bahasa. Dengan logat saya yang pas-pasan, tak jarang saya dianggap sebagai orang lokal. Walaupun demikian saya bersyukur, perbendaharaan bahasa saya pun semakin kaya. PTT ini membuat saya cukup dapat melakukan anamnesa dengan bahasa Dayak Kanayatn atau Ba'ahe ini, hingga saya dapat berkomunikasi dengan kawan-kawan dengan Ba'ahe. Sungguh, mempelajari kearifan lokal adalah suatu kebanggaan buat saya.

Penduduk

Hampir sebagian penduduk Menjalin bersuku Dayak Kanayatn, dengan sebagian kecil adalah Tionghoa, Melayu, dan Jawa. Di Menjalin ini mereka duduk berdampingan. Dan suatu ketakutan saya sebelum PTT adalah apakah saya dapat diterima masyarakat kelak? Saya sungguh bersyukur saya tak menemui masalah berarti ketika berelasi dengan penduduk dan staf Puskesmas. Di Puskesmas Menjalin ini, saya sendiri tak pernah konflik. Oleh staf Puskesmas, kami saling menghormati pekerjaan kami masing-masing. Saya bisa melakukan tugas medis saya sesuai dengan apa yang seharusnya. Tidak pernah saya merasa diperlakukan dengan tak hormat. Walaupun saya nakal, karena praktik tanpa jas snelli di Puskesmas, atau praktik dengan celana pendek di rumah dinas, saya tetap dapat dikenali sebagai "Pak Dokter".

Poli Umum dan Rawat Inap

Apa saja pekerjaan saya di Puskesmas? Yang jelas saya tidak memegang program khusus. Saya memegang tugas medis umum, poliklinik umum di rawat jalan, dan tugas medis di rawat inap. Terkadang saya pun ikut puskesmas keliling dan posyandu di desa-desa. Saya juga kasang-kadang mendapat tugas kunjungam ke rumah, karena masyarakat di sini masih terbiasa untuk didatangi oleh petugas.

Kursi Praktik saya di Poliklinik
Saya bersama Perawat Poli, Kak Nia dan Mak Dela

Ketika tengah tahun saya berjalan, Puskesmas Menjalin mendapat pergantian Kepala Puskesmas. Dr. Didy dari Puskesmas Karangan diangkat menjadi kepala puskesmas kami. Saya untungnya masih tetap diperkenankan menyelesaikan tugas saya di Menjalin sesuai dengan SK. Saya diminta untuk membenahi rawat inap oleh Dr. Didy. Hampir semua Puskesmas di Landak adalah Puskesmas perawatan kecuali di Ngabang, Sidas, Semata.

Memang, sebelumnya rawat inap Puskesmas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Saat itu belum ada jadwal jaga yang bergantian, tidak ada pengelolaan alkes dan barang rawat inap, sehingga pasien masih do-re-mi dalam hitungan bulan. Jadi setiap ada tindakan malam, saya harus bersenter dulu untuk mencari barang, jika ada gawat darurat hanya dikerjakan oleh saya dan Bu Nia sebagai penghuni setia di kompleks Puskesmas.

Rawat Inap yang Dihidupkan
Pengaturan yang diharapkan optimal walau sederhana

Akhirnya saya pun memulai untuk merapikan jadwal dinas, merapikan alat-alat kesehatan, dispensing obat, dispensing alkes tambahan yang tidak diberi dinas tetapi diperlukan, mengelola ambulans, sampai mengelola keuangan rawat inap. Saya bersyukur dulu saya memahami sedikit soal manajemen ini dari apa yang saya lihat selama pendidikan di almamater saya, FK Atma Jaya. Saya menerapkan apa yang saya lihat. Dan perlahan-lahan, rawat inap ini hidup. Beberapa prosedur disesuaikan dengan rumah sakit, seperti cara kewaspadaan universal, pencatatan rekam medis (saya masih ingat dulu pasien pertama rawat inap saya, saya tuliskan di lembaran HVS!), pengaturan obat dan alkes, dan lainnya. Dan saya senang sekali, masyarakat mulai dapat menikmati hasil dari penghidupan kembali rawat inap ini yang siap sedia 24 jam. Apalagi pasien dari kecamatan tetangga, Kecamatan Toho, juga kian banyak, karena tidak adanya puskesmas perawatan dan belum adanya dokter yang tinggal di daerah setempat. Saya sungguh berharap, kelak rawat inap ini terus dapat berkembang dan maju sepeninggal saya.

Jalan-jalan ke desa
Plang Praktik Pribadi di Rumah Dinas

Keluarga

Ya, saya memiliki keluarga baru di Menjalin. Mulai dari staf-staf Puskesmas, dari yang tua sampai perawat magang yang lebih muda dari saya, kemudian keluarga Mak Uwi yang membuka warung di depan Puskesmas, pasien-pasien yang sering saya temui di Puskesmas maupun praktik pribadi. Sungguh banyak hal yang dibagi, bersenda gurau, selama 12 bulan ini. Hari-hari saya di Menjalin menjadi tak terasa dan dilewati dengan rasa senang. Suka dukanya begitu berkesan. Walaupun sebagai dokter umum di negeri ini banyak hal yang memusingkan kepala, namun saya merasa diperlakukan dengan baik sebagai dokter dan terutama sebagai diri saya sendiri di Menjalin ini.

Saya bersama Trio Macan (Eka, Nia, Ado), dan si kecil Cia

Suatu saat saya akan merindukan comblangan Pak Didy, tawa renyah Kak Osik dan Kak Hatenah, candaan sesama Sobat (baca: orang Tionghoa) dengan Kak Banyu, langganan kue Kak Sri, candaan dari Bang Martinus, panggilan "yukng" dari Bang Ryan, teriakan khas "Dokter Hauuu, ada pasien nih" dari Kak Dewi, dinas penuh tawa dari Trio Macan (Kak Nia, Kak Ado, Kak Eka), bercanda dengan Kak Emi, Kak Ola, Kak Rika, Kak Wila dan Kak Agnes, pertolongan tanpa pamrih saat padam lampu dari Bang Erick, perjalanan jauh merujuk pasien sampai berkantuk ria dengan Mas Pur, kiriman pasien aneh dari Takong dan teman jajan sore bersama Bang Agustinus serta Deckri, senandung melodi lagu lama dan teman misa dari Kak Nia (Karunia), petuah tak ternilai dari Mak Dela, suara khas Pak Mega, melihat nomor angkanya Om Saibu dan Bang Eko, "diskusi" dan petuah tiada ujung dengan Bang Ason, kalemnya Om Basri, mencicipi makanan Bu De Iin yang menjadi makanan sehari-hari selama PTT, langganan talok manok kampokng (telur ayam kampung) dari Bu Betty dari Sompak, es teh hangat dan indomie Mak Uwi, bermain dengan Cia dan Vino, anjingnya. Semua terangkai dalam memori saya selama di Menjalin. Ya, walapun mereka ada yang lebih muda dari saya, terutama yang perempuan saya kerap memanggil "Kak", kebiasaan saya sejak koas di Atma Jaya, tampaknya lebih nyaman untuk disapa.

Pengalaman Baru

Banyak hal baru yang saya dapatkan selama di Menjalin ini seperti mau tak mau menjemput pasien sendiri di tengah desa yang gelap, sendiri mengendarai ambulans yang kesulitan melewati jalan tanah yang becek, masuk ke desa sangat terpencil di Desa Re'es melewati jalan tikus, menikmati kebudayaan Dayak Kanayatn seperti dijamu saat Naik Dango, makan baconcok (semeja sekelompok) saat perkawinan staf, makan pulut, tumpi, lemang, dan bontokng. Saya pun dikenal sebagai dokter yang tak pandai bermotor, memang sungguh saya tak bisa menaiki motor. Dokter yang selalu membawa ambulans saat gereja, itulah saya.

Terus teramg saya sendiri hanya dua minggu sekali turun ke kota untuk menabung dan bertemu orang tua. Selebihnya saya sisakan hari-hari saya di Menjalin.

 

Dan kini saya memang tinggal menghitung hari di Menjalin, dan tetap saya berharap bahwa ini juga kelak ditutup dengan manis. Jarum jam pun terus berdetak.

 

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. PTT itu memang sejuta kenangan, berjuta pengalaman berharga dalam segala keterbatasannya.

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: