Rabu, 27 November 2013

Dokter Kebal Hukum?

Maraknya pewartaan di Hari Solidaritas Dokter Indonesia (yang oleh masyarakat disalahpersepsikan menjadi Mogok Nasional, karena untuk urusan gawat darurat tetap dibuka), timbul berbagai macam pendapat di masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa para dokter ini menjadi defensif, dokter "lebay" (merujuk headline di Kompasiana, pada pukul 12:55 WIB), dokter antikritik (bahkan ada yang mengutip kata Soe Hok Gie yang mengatakan seseorang yang tak suka kritik dibuang saja ke tempat sampah), dan ada yang mengatakan dokter kebal hukum.

Sebuah ironi bahwa permasalahan ini  akhirnya merembet kemana-mana dan menjadi makanan empuk media. Bahkan ada yang menyentil masalah dokter kaya (padahal masih banyak dokter yang digaji di bawah UMP sekalipun). Ah sudahlah, ini adalah arus masalah yang lain. Kita fokus dengan dokter dan hukum ini saja dulu.

Dokter  kebal hukum?

Saya pastikan bahwa tidak ada penduduk di negeri ini yang kebal hukum. Bahkan duta besar pun dengan imunitasnya memiliki tanggung jawab juga terhadap penegakkan hukum.

Terus mengapa dokter protes saat temannya dihukum?

Ini sebenaranya adalah puncak kami, ketika dengan berbagai jalan yang ditempuh tak membuahkan hasil. Rekan kami yang dihukum MA ini adalah cacat, karena dikatakan "atas kelalaiannya menyebabkan kematian pasien." yang dalam kasus ini disebabkan emboli udara.

Lah kan pasiennya mati?

Perlu diingat bahwa ikatan pasien dan dokter secara hukum adalah inspanning verbintenis atau perikatan upaya. Bukan resultaat verbintenis yang merujuk pada hasil. Jadi perlu ditekankan bahwa dokter berupaya seoptimal mungkin yang dapat ia lakukan sesuai keilmuannya, bukan untuk memastikan bahwa pasien tetap hidup.

Guwandi, seorang ahli hukum, dalam bukunya "Hukum dan Dokter" mengatakan bahwa setiap tindakan yang tak diharapkan tak selamanya berujung ke kelalaian dokter, namun ada yang disebut kecelakaan medik atau medical misadventure.

Kenalilah apa itu kecelakaan medis

Kecelakaaan medik adalah sebuah peristiwa medik yang tak terduga, tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan mencelakakan dan membawa malapetaka. Kecelakaan medik ini sesuatu yang dapat dimengerti, dan dimaafkan, dan tidak dipersalahkan, serta tidak dihukum. Kecelakaan tidak sama dengan kelalaian. Inilah yang sering disalahartikan oleh masyarakat nonmedis karena mereka selalu memiliki ekspektasi yang tak selalu bisa dipenuhi oleh ilmu pengetahuan, terutama kedokteran.

Sesuatu dapat disebut tindakan bersalah (schuld) jika mengandung unsur:

  • wederrrechtelijkheid: tindakan bertentangan dengan hukum
  • voorzienbaarheid: akibatnya dapat dibayangkan sebelumnya
  • vermijdbaarheid: akibatnya dapat dicegah atau dihindarkan
  • verwijtbaarheid: timbulnya akibat dapat dipersalahkan kepada pelaku 

Uraian di atas dikemukakan Jonkers, yang mana jika tidak dipenuhi maka tindakan tersebut bukanlah kesalahan. Apa yang terjadi oleh dr. Ayu tidak memenuhi kriteria di atas. Emboli udara pasca bedah adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan oleh dokter siapapun, namun tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Memang sebabkan kematian, seperti gempa bumi yang terjadi apakah kita memidanakan seismolog atau badan bencana?

Banyak hal yang dapat terjadi di luar perkiraan dokter dengan motivasi yang baik oleh dokter. Misalnya terjadinya syok atau renjatan anafilaktik karena obat yang tidak diketahui sebelumnya. Tubuh manusia yang berbeda-beda memiliki respons yang berbeda dan memiliki efek alergi yang berbeda juga yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Termasuk di dalamnya kasus sindroma Steven Johnson, atau patahnya tulang iga saat tindakan resusitasi jantung paru.

Dokter membela yang salah?

Apa yang terjadi hari ini adalah tindakan yang sudah dipikirkan masak-masak dengan segala tinjauan ilmiahnya baik oleh IDI maupun organisasi moral Dokter Indonesia Bersatu. Jadi bukan ujug-ujug tindakan reaktif sesaat tanpa berpikir panjang.

Apakah dokter tak dapat salah?

To err is human. Dokter juga manusia yang dapat salah. Jika dokter tersebut membuka praktik aborsi ilegal, bisa dipidanakan. Jika dokter tak lagi putih nuraninya, dan terlibat dalam persengkokolan pembunuhan, bisa dipidanakan. Jadi, jika memang terbukti secara meyakinkan baik secara keilmuan dan hukum, maka dapat dipidanakan, sesuai dengan 4 kriteria Jonkers di atas.

Jadi?

Pesan yang ingin disampaikan jelas, bahwa dokter dalam segala tindakannya tidak serta merta diputuskan tanpa mempertimbangkan etik, disiplin, dan hukum yang berlaku di kedokteran. Dunia kedokteran ini memang unik. Seringkali dianggap perpanjangan tangan Tuhan, walau di satu sisi dokter adalah manusia tak sempurna seperti Anda yang tengah membaca tulisan saya ini.

*Terima kasih untuk sepupu saya yang meminjam laptopnya untuk saya tik. :)


3 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. dokter tidak kebal hukum. namun demikian kematian akibat tindakan medis tidak selalu harus disalahkan, apalagi dihukumi dengan hukum pidana tindak pembunuhan....
    dokter dididik tidak sebagai alat pembunuh...
    http://www.harrymulyono.com

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: