Selasa, 17 Maret 2009

Benarkah Alasan Belajar saat Kuliah adalah Segalanya?

Ini adalah sebuah refleksi sejenak bagi saya. Hal ini timbul dalam suatu kejadian ketika ada sebuah kegiatan yang telah direncanakan sudah lama, dan kemudian seketika bertabrakan dengan jadwal akademik, dan kemudian ada permintaan kegiatan itu untuk dapat mengakomodir mahasiswa yang ingin kuliah. Padahal kegiatan tersebut sudah dirancang sedemikian rupa dan akan berantakan bila diminta mengakomodir akademik.

Dan kegiatan ini tetap saja menggantung dan tetap pihak peserta tetap mengatakan: Lebih pentingnya akademik dibandingkan kegiatan yang sudah direncanakan itu.

Tentunya kegiatan ini bukanlah kegiatan main-main, fun, hura-hura atau riang gembira namun sebuah kegiatan pengembangan diri.

Saya sendiri berpendapat bahwa alasan akademik ini tidak beralasan walaupun terhadap dalih alasan kita kuliah adalah untuk belajar! Namun di balik itu kita tetap harus melihat tingkat prioritas. Dalam menentukan prioritas kita tetap harus melihat: kepentingan acara, urgensi acara.

Dalam kegiatan tersebut memiliki urgensi yang sangat tinggi, tanpa ini jalannya kegiatan lainnya tentu akan berpengaruh dan yang mendapat pengaruh adalah orang-orang yang ada di luar dirinya dan dirinya sendiri.

Kalau melihat dari kuliah, kegiatan ini adalah kegiatan untuk diri sendiri tidak langsung ke orang lain secara eksternal. Dan diri sendiri pun tak akan rugi karena banyak cara lain untuk dalam mengompensasi hal ini.

Tentunya kuliah dalam hal ini adalah salah satu bentuk atau cara belajar. Kita tidak bisa mengatakan bahwa saat kuliah adalah mutlak untuk belajar. Banyak cara belajar yang lain yang dapat menggantikan kuliah dalam kesempatan tertentu.

Contoh ekstrimnya. Ketika Anda dalam jalan kaki menuju kuliah dan Anda sudah telat, kemudian Anda melihat kecelakaan dan korban memerlukan pertolongan segera. Apakah tetap alasan kuliah adalah segalanya?

Kefleksibelan hidup pun diperlukan.

5 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Memang kuliah bukan segala2nya Hau.
    Alasannya orang2 kaya gitu pastinya "gua bayar kuliah ya buat kuliah, kalo ga masuk rugi dunk"

    Ya mungkin pas mereka masuk dunia kerja baru berasa gimana pentingnya sosialisasi en organisasi.

    Btw, headernya bagusan polos kaya kemaren hau,
    sekarang tuh kaya kamar mayat. Blog lo kaya website horror.

    BalasHapus
  2. Hahaha untuk menunjukkan sisi dark dari kehidupan gw kali ya... hahaha

    BalasHapus
  3. buat gw ya, Hau..
    tetap aj belajar dan kuliah adalah hal nomer 1..
    itu sebabnya gw di kirim ke FKUAJ..
    itu sebabnya lu di kirim ke FKUAJ..
    hendaknya kita ga melupakan itu..

    lu mungkin pissed off krn acara lu berantakan..
    tp bagaimanapun.. pesertanya udh bnr dengan ga meninggalkan tujuan mereka ke FK..

    Dokter yang ga mampu jd pemimpin tim ga bakal dapat masalah di kemudian hari..
    tp dokter yg ga kompeten pasti dapat masalah..

    klo misalnya pun lu bilang..
    cuma sekali ini..
    nti sekali lagi..
    bulan depan sekali lagi.. dst..
    tuh jd berkali-kali bukan??

    itu klo menurut gw segh ^^

    BalasHapus
  4. Kalau buat gw. Gw benar ada di FKUAJ buat belajar. Tapi gw buat belajar hidup gw yang ngga cuma melulu soal medis. Gw merasa perlu untuk belajar lainnya yang gw ngga dapat di kuliah tentang adaptasi, komunikasi publik, manajemen, daya juang, kepercayaan diri, dsb.

    Untuk mendapatkan sesuatu kita memang harus mengorbankan sesuatu baik itu waktu maupun hal lainnya.

    BalasHapus
  5. Setuju dan ga setuju ma last wizard of the last century.
    Saya akan membahas satu per satu poin anda. Sebagai non mahasiswa kedokteran yang tau bahwa pendidikan profesi dokter memang seperti investasi yang ga main2 baik besar maupun pentingnya, saya yakin tujuan mahasiswa kedokteran adalah belajar sebenar2nya dan tidak menyia2kan waktu kuliah. Namun dalam hal ini, ada 2 hal

    1.Apakah menghadiri kulaih berarti benar2 belajar? Karena kehadiran fisik di kuliah tidak menjamin seseorang untuk fokus dan mendapatkan sesuatu yang berguna untuk dirinya. Hal ini dapat terjadi karena internal (dari diri sendiri) ataupun eksternal (pemberi kuliah)

    2. Dalam posting Hau, bukannya acaranya sudah direncanakan jauh2 hari lalu 'tiba2' berbentrokan dengan kuliah ya? Kalo iya berarti sebenarnya penjadwalanlah yang kurang baik, bukan adanya kegiatan non akademis tersebut.

    Poin baru yang ingin saya masukkan di sini adalah mengenai masa depan. Sebagai seseorang yang berprofesi sebagai dokter, di mana masyarakat rata2 menaruh kepercayaan tinggi dan diyakini tak ada dokter yang hidup di bawah garis kemiskinan kecuali karena pilihan, anda sekalian akan menjadi bagian 'elit' masyarakat. Kenapa saya bilang 'elit'? Karena status sosial anda termasuk tinggi dalam kemasyarakatan di mana anda dapat memegang kesehatan pekerjaan bahkan nyawa seseorang atau sebagian masyarakat yang percaya pada anda.
    Tanggung jawab anda secara medis sangat besar, tapi tidak kalah besarnya tanggung jawab sosial anda di masyarakat. Seorang dokter dapat saja merekomendasikan sebuah merk obat yang lebih mahal untuk mendapat komisi, tapi tentu dia harus bisa memilah baik buruknya tindakannya(sebagai contoh bila pasiennya tidak mampu, apa tidak lebih baik diberi resep generik saja?).
    Saat turun ke masyarakat juga dia harus sabar dan telaten akrena banyak hal yang pasti dapat memancing emosinya. Seorang dokter yang baik harus dapat mengendalikan emosi dan berpikir jernih untuk membuat keputusan penting mengenai pasien.
    Kematangan mental seperti di atas tidak didapat melalui SKS anda di bangku kelas, namun melalui interaksi dengan orang banyak dan kegiatan2 selain akademis. Anda terlatih, selagi memikirkan tujuan utama (akademis dan medis itu bisa disejajarkan) anda juga berurusan dengan tujuan2/gangguan2 kecil lainnya (kegiatan non akademis di kampus dan resenya masyarakat sebagai pasien di sini bisa disejajarkan)

    Memang betul seorang dokter tidak perlu menjadi pemimpin tim yang baik, namun banyak dokter lebih sukses juga karena dia dapat memimpin tim dengan baik.

    Memang betul dokter diharapkan memiliki kemampuan medis yang sempurna karena tanggung jawabnya yang besar, namun ia juga harus memiliki hati nurani yang baik, atau setidaknya terlatih dengan baik. Dan hal itu tidak bisa kita latih begitu saja jika terbatas bergaul di kampus, rumah dan gereja. Kita harus bersentuhan dengan banyak orang lain juga, mengerti watak yang tidak ditemui dalam buku2 psikologi, memahami perasaan orang2 yang tertekan ataupun pribadi lainnya. Hal itu tidak cukup anda temui di bangku kuliah dalam kelas, saudaraku.

    Saya tidak berpendapat untuk menghakimi siapapun, tidak untuk mengatakan mana yang salah mana yang benar.
    Ini hanyalah satu cara untuk memperluas pandangan kita sebagai praktisi di bidang biologis dan medis. Bahwa tantangan ke depan bukan melulu dari segi akademis, tapi juga dari sisi lain.


    Kalau ada yang salah2 mohon maap yah. Hehe
    Sekian dan terima kasih.

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: