Kamis, 21 Januari 2010

Ketika Menjadi Dokter "Sungguhan"

Sudah dua kali dalam empat hari menjalani Praktek Kerja Lapangan di Puskesmas Kelurahan Kamal Muara, saya menjadi dokter "sungguhan". Sebagian frasa ini perlu saya miringkan dan diberi tanda petik. Artinya, saya setengah dilepas untuk menjalani transaksi antara dokter dan pasien.

Sebelumnya tentunya dengan ijin dari dokter Kepala Puskesmas, saya berperan menjadi dokter dalam Balai Pengobatan Umum. Tentunya didampingi oleh dokter Kapuskes tapi beliau pun hanya memeriksa terapi yang saya berikan dalam resep.

Terus terang, saya merasa deg-degan, merasa diri masih tidak cukup handal. Memang seharusnya saya sudah memiliki kompetensi yang dipelajari di pendidikan Sarjana Kedokteran. Tapi detak jantung dan saraf otonom ini bergerak nirsadar. Banyak hal yang sempat membuat saya ciut hati. Pertama, yang saya hadapi pasien, bisakah saya membantu mereka? Kedua, saya masih hitungannya koas bau kencur, yang baru menyelesaikan satu stase. Ketiga, saya masih kurang percaya apa benar saya mampu, karena status saya masih koas, kumpulan orang serba salah. Keempat, jantung saya kian ingin lepas.

Saya terus kalut dalam pikiran. Mampukah? Bisakah? Berkompetenkah? Yang saya hadapi ini pasien loh. Bukan mesin yang rusak pun dapat beli lagi.

Tapi dalam satu pikiran yang mencerahkan saya, kalau saya terus begini kapan saya akan percaya bahwa saya dokter? Ini adalah kesempatan, membangkitkan aura kepercayaan diri. Inilah saatnya untuk berdikari.

Saya pun beranjak ke ruangan poli umum di lantai dua Puskesmas. Jantung saya masih berdetak hebat. Saya melontarkan senyum pada pasien yang sudah menunggu. Saya membuka pintu dan berderitlah. Sekelompok kertas rekam medis sudah tertata. Saya sendiri di ruangan, tidak ada tempat bertanya, tidak ada waktu lagi untuk membuka buku teks. Walau saya sudah menghapal jenis obat yang tersedia di farmasi, saya takut itu lenyap.

Dan saya panggil nama pasien dengan nomor terkecil dan datanglah seorang ibu yang menggendong anaknya yang berusia 2 tahun. Saya menyapanya dan satu hal yang ada di kepala saya ini hanya: "Apa Diagnosisnya? Apa Terapinya?" Dan bulir peluh mulai bergulir.

Saya melakukan anamnese dan keluhannya adalah batuk pilek. Di kepala saya langsung berdenting: "1302, ISPA". Tapi masalah tak hanya sampai disitu kawan. Mulai menulis resep, Oh Tuhan apa obat yang saya hapal tadi. Puyer Panas (PP) 1? PP 2? Berapa batasan umurnya? Saya sambil mengingat. Ah yang mana, Tuhan? Kalau ISPA maka diberikan kotrimoksazol, 2 kali berapa sendok teh? 1 sendok? 1,5 sendok? 2 sendok? Apakah perlu vitamin?

Saya pun menuliskan resep pertama itu dan saya melontarkan senyum ke ibu dan memintanya mengambil obat di farmasi.

Dan begitu pasien-pasien berikutnya datang. Dengan kasus yang berlainan seperti gatal-gatal, luka, darah tinggi, dan lainnya. Sambil mengingat hal-hal yang saya sudah pelajari.

Ketika pasien habis dan saya turun ke bawah, resep saya ternyata beberapa ada yang direvisi. Ada yang salah dosis jumlah sendok teh. Ada yang kelebihan dengan CTM, padahal puyer sudah terdapat CTM. Ketika itu pasien pun kembali datang, saya kembali ke atas ke ruang poli umum. Saya menemukan kesalahan saya dan memperbaikinya dan, resep saya pun semakin sedikit yang direvisi oleh dokter.

Ya, saya menemukan bahwa kedokteran adalah sebuah seni, bukan saja mengenai hal apa yang bisa hapal di luar kepala, tetapi bagaimana menjadikan hal ini menjadi hal yang lekat pada diri.

Dan hari ini pun saya kembali menjadi dokter di poli umum dan saya mulai menikmatinya dan jantung pun dapat berdetak seperti sediakala. Dan satu hal, saya pun masih harus terus belajar.

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: