Selasa, 05 Januari 2010

Ketika Memilih Jalan Menjadi Dokter

Tulisan ini adalah salah satu forward dari dosen di FK-UAJ yang didapati dari milis lain. Saya kira sangat baik untuk merenungi jalan kita menuju dunia dan profesi dokter.

Jika kita ingin menjadi dokter untuk bisa kaya raya, maka segeralah
kemasi barang-barang kita.
Mungkin fakultas ekonomi lebih tepat untuk mendidik kita menjadi
businessman bergelimang rupiah daripada kita harus mengorbankan pasien
dan keluarga kita sendiri demi mengejar kekayaan.

Jika kita ingin menjadi dokter untuk mendapatkan kedudukan sosial
tinggi di masyarakat, dipuja dan didewakan, maka silahkan kembali ke
Mesir ribuan tahun yang lalu dan jadilah firaun di sana. Daripada kita
di sini harus menjadi arogan dan merendahkan orang lain di sekitar
kita hanya agar kita terkesan paling berharga.

Jika kita ingin menjadi dokter untuk memudahkan mencari jodoh atau
menarik perhatian calon mertua, mungkin lebih baik kita mencari agency
selebritis yang akan mengorbitkan kita sehingga menjadi artis pujaan
para wanita. Daripada kita bersembunyi di balik topeng klimis dan jas
putih necis, sementara kita alpa dari makna dokter yang sesungguhnya.

Dokter tidak diciptakan untuk itu, kawan.

Memilih menjadi dokter bukan sekadar agar bisa bergaya dengan BMW
keluaran terbaru, bukan sekadar bisa terihat tampan dengan jas putih
kebanggaan, bukan sekadar agar para tetangga terbungkuk-bungkuk hormat
melihat kita lewat.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian. Mengabdi pada
masyarakat yang masih akrab dengan busung lapar dan gizi buruk.
Mengabdi pada masyarakat yang masih sering mengunjungi dukun ketika
anaknya demam tinggi.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan empati, ketika dengan
lembut kita merangkul dan menguatkan seorang bapak tua yang baru saja
kehilangan anaknya karena malaria.

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kemanusiaan, ketika
kita tergerak mengabdikan diri dalam tim medis penanggulangan bencana
dengan bayaran cuma-cuma.

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kepedulian, saat
kita terpaku mendoakan kesembuhan dan kebahagiaan pasien-pasien kita.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan berbagi, ketika seorang
tukang becak menangis di depan kita karena tidak punya uang untuk
membayar biaya rumah sakit anaknya yang terkena demam berdarah. Lalu
dengan senyum terindah yang pernah disaksikan dunia, kita menepuk
bahunya dan berkata, jangan menangis lagi, pak, Insya Allah saya bantu
pembayarannya.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan kasih sayang, ketika
dengan sepenuh cinta kita mengusap lembut rambut seorang anak dengan
leukemia dan berbisik lembut di telinganya, dik, mau diceritain
dongeng nggak sama oom dokter?

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan ketegasan, ketika
sebuah perusahaan farmasi menjanjikan komisi besar untuk target
penjualan obat-obatnya, lalu dengan tetap tersenyum kita mantap
berkata, maaf, saya tidak mungkin mengkhianati pasien dan hati nurani
saya.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengorbanan, saat tengah
malam tetangga dari kampung sebelah dengan panik mengetuk pintu rumah
kita karena anaknya demam dan kejang-kejang. Lalu dengan ikhlas kita
beranjak meninggalkan hangatnya peraduan menembus pekat dan dinginnya
malam.

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan terjal lagi mendaki untuk
meraih cita-cita kita. Bukan, bukan kekayaan atau penghormatan manusia
yang kita cari. Tapi ridha Allah lah yang senantiasa kita perjuangkan.

Yah, memilih menjadi dokter adalah memilih jalan menuju surga, tempat
di mana dokter sudah tidak lagi perlu ada.

NB: Ini bukan provokasi untuk menjadi dokter miskin, bukan juga
mengatakan bahwa dokter tidak perlu penghormatan atau hal-hal duniawi
lainnya.

Tulisan ini hanya sekadar sebuah nasihat untuk diri sendiri dan rekan
sejawat semua untuk meluruskan kembali niat kita dalam menjadi seorang
dokter. Karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Silakan menjadi
kaya, silakan menjadi terhormat, asal jangan itu yang menjadi tujuan
kita. Dokter terlalu rendah jika diniatkan hanya untuk keuntungan
duniawi semata. Mungkin akan sangat susah untuk menggenggam erat
idealisme ini nantinya. Namun saya yakin, jika ada kemauan yang kuat
dan niat yang tepat, idealisme ini akan terbawa sampai mati. Walaupun
harus sendirian dalam memperjuangkannya, walaupun banyak yang
mencemooh
dan merendahkan. Saya yakin, Tuhan tidak akan pernah salah menilai
setiap usaha dan perjuangan hamba-hamba- Nya. Tidak akan pernah."

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: