Selasa, 26 Januari 2010

Tuan R, Pasien Perdana

Sepertinya ini cerita yang sudah lama, yang seharusnya terjadi ketika saya di siklus bedah. Namun saya lupa menuliskannya. Better than nothing kan?

Bagi koas, menunggu mendapat tanggung jawab akan seorang pasien adalah sesuatu yang campur-aduk. Antara ingin sekali karena dapat mengaplikasikan ilmu, namun agak "menghindar diri" karena bisa ditanya-tanya oleh konsulen (artinya harus belajar ekstra) dan keriuhan follow-up pasien setiap pagi akan menyertai hingga pasien itu pulang. Tapi apa yang saya rasakan, campur-aduk. Bagaimana tidak, saya baru menginjakkan kaki di dunia perkoasan. Artinya, saya akan mendapatkan pasien pertama saya selama seumur hidup saya dan karir saya di kedokteran.

(Demi kerahasiaan, nama, waktu, tempat saya kaburkan)

Tn R

Saya mendapatkan kabar dari salah satu rekan di pagi yang sepi. "Hau, Ini ada pasien kamu. Pasien dengan vulnus (luka) akibat KLL -Kecelakaan Lalu Lintas-red-." Mendapatkan berita di pagi hari seperti ini berarti saya harus segera meluncur ke RS X yang berjarak 20 menit dari rumah. Saya pun tanpa mandi, karena diprediksi pasti akan telat. Saya tiba di RS pada pukul 06:00 pagi.

Saya tiba di bangsal Y, RS X. Dengan agak tertatih karena mengingat waktu saya hanya sekitar 30 menit untuk follow-up pasien sebelum ronde pagi bersama konsulen. Saya segera mengenakan jas putih, membaca laporan jaga malam rekan sejawat yang sebelumnya menerima pasien tersebut. Saya pun ke ruangan 202 kasur 6, dan berucap, "Selamat Pagi, saya Dokter Muda Andreas, saya dokter muda yang akan membantu penanganan Bapak di RS ini."

Namanya Tn R. 22 tahun. Datang di RS pada dini hari karena kecelakaan lalu lintas. Ia yang tengah menaiki motor, tertabrak oleh mobil van ekspedisi. Ia pun mengalami vulnus laceratum genu dextra (luka robek pada lutut kanan), vulnus excoriatum cruris dextra et sinistra (luka lecet pada tungkai bawah kanan dan kiri), dan fraktur os naviculare pedis dextra (patah tulang navikularis kaki kanan). Setelah membuat anamnesa, pemeriksaan fisik, membuat status generalis dan status lokalis. Dan ternyata Tn R dijadwalkan operasi hari ini.

Menjadi tanggung jawab si penanggung jawab pasien, maka saya akan mengasistensi operasi debridement (pembersihan) luka Tn R. Maka saya yang akan melakukan pemeriksaan pra-bedah bersama koas anestesiologi. Saya pun meminta ijin konsulen untuk melakukan pemeriksaan pra-bedah. Memeriksanya ya seperti biasa, sudah ada formulirnya. Berapa ASA-nya (indeks angka untuk menggambarkan keadaan umum pasien), berapa Mallampati-nya (tingkat visual dari rongga faring untuk memprediksi kesulitan dalam melakukan intubasi), dan lainnya.

Tapi setelah itu menjadi tantangan bagi saya, bagaimana menjelaskan prosedur bedah pada pasien dan keluarga. Sebuah hal yang tidak mudah, jelas tak mudah. Mereka bertanya bagaimana cara melakukan pembiusannya, karena saya mengatakan akan dilakukan bius setengah badan, alias anestesi regional dengan anestesi spinal. Memang mungkin mudah bagi saya mengatakan, "Nanti akan disuntikkan obat bius dari punggung." Tapi ini berhasil membuat keluarga mengerutkan dahi. Saya harus dapat menjelaskan bahwa ini prosedur aman dibalik efek samping minimalnya.

Saya pun ditanya mengenai prognosis pasien. Saya katakan Tn R akan baik-baik saja. Dan ibunya berkata, "Bukannya kenapa-kenapa dok, kami sudah kehilangan adiknya. Dia pun karena kecelakaan." Saya baru mengerti, bahwa mereka takut sesuatu yang fatal terjadi pada Tn R yang merupakan salah satu tulang punggung keluarga selain sang ayah untuk ibu dan ketiga adiknya. "Tenang bu, akan baik-baik saja." "Terima kasih, dok." Dan saya pun menuju ke ruangan operasi, dan berharap semua akan baik-baik saja.

Saya sudah bersiap di instalasi kamar bedah. Saya sudah siap dengan pakaian OK yang merupakan kedua kalinya saya kenakan setelah orientasi kamar OK. Saya pun sangat cemas, inilah saya pertama kali berada di proses pembedahan. Saya menjadi asisten operasi.

Saya menyambut pasien di ruangan persiapan setelah dilakukan "serah terima" antara perawat bangsal dan perawat kamar operasi. Saya pun menyambut, "Pak R, bagaimana keadaan Anda?" Kami pun mendorong brankar ke kamar bedah nomor 3.

Persiapan anestesi dimulai, saya pun meminta ijin konsulen untuk menjadi asisten, bersiap mencuci tangan sambil mengingat langkah-langkahnya saat orientasi. Dan saya pun mengenakan gaun operasi dan sarung tangan steril. Saya pun bersiap dalam posisi steril dan menunggu konsulen, yang akan menjadi operator, datang ke ruang operasi. Saya sedikit bergumam, "Tuhan, terima kasih hingga kini baik-baik saja."

Konsulen datang dengan tangan sterilnya dan operasi dimulai. Saya menempatkan diri di depan operator. Takikardia pun dimulai. Operator mulai menyayat dengan bladenya dan darah dari pembuluh darah kulit mulai merembes. Operasi pun berlangsung. Operasinya pun bagi saya tidak begitu lancar, karena beberapa kali hasil guntingan akan simpul jahit operator ada yang terlalu panjang dan ada yang terlalu pendek. Saya pun ditegur oleh konsulen. Terus terang ini membuat saya semakin takikardia.

2 jam lebih saya berdiri dan operasi selesai. Pasien didorong ke ruangan pemulihan. Setelah tanda vitalnya sudah membaik dan dinilai dengan nilai Aldrete sudah memungkinkan, maka pasien dipulangkan ke bangsal rawat. Sebenarnya inilah momen yang membahagiakan, bahwa pasien Tn R sadar dan diterima oleh keluarganya yang menyambut saat di ruang tunggu kamar operasi. "Terima kasih dok", ucap keluarganya. Namun saya sendiri merasa bahwa tidak sepantasnya ucapan itu bagi saya, yang pantas menerimanya adalah konsulen. "Sama-sama pak"

Ketika sampai di bangsal saya pun membereskan beberapa hal, operan pasien dengan sejawat yang bertugas jaga malam saat itu. Kemudian beres-beres dan pulang. Namun di tengah saya berjalan, saya terhenti. Ternyata ayah Tn R. "Maaf dok, kalau mengganggu bolehkah saya bertanya sebentar?" "Oh ya pak, ada apa?"

Bapak ini menanyakan apakah boleh menggunakan obat tiongkok untuk mempercepat penyembuhan anaknya itu. Dan mengobrol terus hingga menemukan bahwa ternyata kami adalah "saudara jauh". Artinya, kami semarga. Dan dia menceritakan bahwa diapun sulit keuangannya, menceritakan bagaimana pihak penabrak tidak mau bertanggung jawab dan sebagainya. Dan tidak terasa 30 menit habis kami bercengkerama.

Hari-hari berikutnya pun saya memfollow-up pasien, dan melihat pasien dapat kian sembuh setiap harinya. Apalagi kami sempat bercanda ketika ia bingung melihat saya ditanya konsulen tentang keadaannya. Ya beginilah kami, dokter muda, belajar.

Hari terakhir, bahwa pasien sudah diijinkan pulang. Ada rasa syukur, rasa lega, bahwa pasien akhirnya selesai menjalani perawatan di bangsal dan tinggal perawatan jalan saja. Pagi-pagi saya memberikan keterangan mengenai perawatan jalan, berapa hari jahitan akan dilepas, dan kontrol luka.

Tn R direncanakan pulang pada siang hari setelah menyelesaikan administrasi. Tetapi hal tetap saya agak sayangkan adalah saya tidak sempat berpamitan langsung dengan mereka ketika mereka keluar dari bangsal. Dan saya juga belum sempat menemui langsung saat perawatan jalan di poliklinik karena kebetulan tidak sesuai dengan jadwal tugas. Tapi senang mendengar bahwa Tn R baik-baik saja.

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: