Rabu, 22 Juni 2011

Suatu Hari Bersama Bhante: Menikmati Apa yang Kita Punyai sebagai Manusia

Kisah ini dimulai saat ponsel saya berdering. Saya melihat ternyata Jhonsen yang memanggil, koordinator acara sumpah dokter. Saya membantu rekan-rekan calon dokter baru yang akan disumpah. Ia meminta saya untuk bersamanya bertemu dengan bhikkhu yang diminta kesediannya untuk mendampingi saat pengambilan sumpah dokter keesokan harinya. Saya diminta untuk menjemput dan menghantar pulang bhikkhu, kebetulan rumah saya dan viharanya dekat.

Memang dasar saya yang entah kenapa bisa cemas. Saya merasa canggung. Saya tidak pernah bertemu, atau bercakap-cakap dengan bhikkhu. Saya takut kalau ada saja tingkah laku saya yang tidak sesuai. Apalagi ini pemuka agama! Dia harus duduk dimana? Bagaimana cara memulai pembicaraan? Apakah perjalanan Sunter-Semanggi akan jadi diam tanpa kata? Walau rasa-rasanya tak penting, ini berputar di kepala saya.

Ok, saya dan sepupu saya -yang kebetulan juga bertugas- menjemput bhikkhu di vihara. Saya memanggilnya bhante. Bhante, dengan pakaiannya yang sederhana saya jemput dan masuk ke mobil saya. Saya takut salah berucap, saya menguncupkan tangan dan mempersilahkannya. Tampaknya mungkin agak berlebihan, tapi saya tak mau jadi tak sopan.

Mobil sudah melaju ke arah Semanggi, dan saya mulai pembicaraan mengenai sampai jam berapa beliau berkenan hadir, bagaimana makannya, dan lainnya. Ternyata beliau tak pantang makanan yang dijual di pasaran, daging yang dipantang biasa tak dijual. Bahkan beliau sempat bercanda bahwa, "Yang saya tak makan, daging manusia." Hahaha, suasana semakin cair. Kemudian ia bertanya-tanya soal dunia mahasiswa kedokteran dan lain-lainnya seperti, apakah dokter ada bedah mayat, dan teman-teman seangkatannya yang sudah menjadi dokter juga.

Akhirnya kami sampai, mengikuti acara, dan saatnya menghantar pulang. Di sini banyak ia bercerita juga tentang kehidupan bhikkhunya, bagaimana orang menjadi bhikkhu. Walau saya seorang katolik, apa yang diceritakan sangat menarik. Ketika berada di perempatan Harmoni, tiba-tiba beliau berkata, "Saya menikmati kesendirian. Saya juga menikmati kegembiraan. Itulah hidup. Ada banyak mantan-mantan orang besar, yang akhirnya luluh bila sudah tak bekerja lagi. Tapi inilah kita manusia, ketika sebaiknya menikmati apa yang kita punyai."

Saya cukup terkejut dan tertarik juga, serta termenung dalam hati "Yup, menikmati apapun yang kita punyai. Bersyukur apa yang kita dapati. Baik itu rasa kesepian, rasa kesenangan, rasa berbagi, lainnya." Suatu bait yang sederhana, dan selalu kita iyakan, namun sangat sulit diresapi di dalam hati. Ini menjadi permenungan bagi saya juga, mengapa saya tidak mudah untuk bersyukur?

Bhante pun menceritakan hal lainnya, bagaimana ia bersama umat-umatnya di Jambi dan Kepulauan Riau. Begitu banyak juga yang beliau untuk melayani umat-umatnya. Dengan segala apapun yang ia punya, ia selalu bersyukur dan menikmati. Kalau dibandingkan dengan awam, seorang bhikkhu melepaskan keduniawiannya, melepaskan harta, dan lainnya. Tetapi seorang biarawan mencapai suatu titik dimana ia mampu bersyukur dengan apa yang dipunyai. Suatu kedewasaan dan kelegawaan yang luar biasa, dan layak kita teladani. Kalau kita, tak ber-Blackberry-an sehari saja sudah cemberut bukan main.

Dan tak terasa kami sudah tiba di vihara, dan bhante telah memberi permenungan yang baik. Dan untungnya pula kecemasan saya tidak terjadi. Saya memang harus banyak belajar lagi untuk tak mudah cemas dan untuk mudah bersyukur. Saya pun belajar banyak mengenai kehidupan sesama manusia.

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: