Sabtu, 02 Juni 2012

Kemanapun Harus Ke Museum

Saya tiba-tiba mendapat inspirasi menulis ini ketika tak sengaja mengobrol dengan dr. Tena Djuartina, dosen saya di Atma Jaya yang mengepalai Museum Anatomi Atma Jaya. Ya, museum kebanggaan Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya ini dinominasikan bersama 63 museum dalam acara Museum Award.

Museum. Saya merasakan euforia yang luar biasa ketika mendengar kata ini. Saya sangat senang mengunjungi tempat ini. Museum ini seakan-akan melegakan dahaga kering saya. Kemanapun saya pergi saya menyempatkan ke museum, apalagi tempat-tempat itu yang mungkin saya pikir saya mungkin hanya satu kali menjejakkan kaki di sana. Alangkah sayangnya kalau saya melewatkan untuk bertandang ke museum.

Saya masih ingat dulu ketika saya kecil pergi ke Kota Kuching di Sarawak, Malaysia Timur. Saya bersemangat penuh dalam menyusun daftar tempat mana-mana yang mau saya kunjungi. Saya memberikan daftar kepada ayah saya, dan di sana terdaftar beberapa museum seperti Museum Nasional Sarawak, Museum Cina Sarawak. Saya hanyalah anak kecil dengan segala mimpinya yang melihat museum dengan mata berbinar.

Saya tidak bisa melewatkan sejengkal pun ruangan yang ada di museum. Dengan melihat diorama-diorama, fantasi saya begitu berjalan. Ketika melihat barang-barang pameran, saya terbang ke dalam alam masa lalu. Mungkin karena itulah euforianya. Saya juga menikmati perkembangan budaya masyarakat dari museum yang dipamerkan.

Banyak museum-museum yang menggetarkan hati saya seperti Museum Makau yang berada di sebelah dari reruntuhan Gereja Saint Paul, Makau. Kemudian juga museum Ripley's Believe It or Not di Genting Malaysia (saya masih ingat dulu sempat ada di Jakarta, Puri atau Pondok Indah ya?), Museum Affandi di Jogjakarta. Sayang memang museum di Indonesia masih dipandang seperempat mata, lebih miris dari sebelah mata. 

Saya di depan pintu Museum Kedua, Museum Affandi, Yogyakarta


Saya sebenarnya masih punya impian untuk menjelajah museum di Jakarta. Saya dulu sempat memproposalkan perjalanan ini dengan rekan-rekan kampus namun belum terselesaikan. Museum Monas, Museum Nasional, Museum Jakarta di Kota, Museum Mandiri, Museum Bank Indonesia, dan lainnya. Sayang memang dalam 10 tahun waktu saya di Jakarta, saya tidak sempat mencicipinya. Ada hasrat ketika saya ke Jakarta mungkin berjalan-jalan seorang diri disana juga tak kalah menyenangkan? 

Saya juga punya pengalaman ketika hati merasa sangat gondok dengan ibu-ibu dalam rombongan tur saya ketika perjalanan wisata ke Korea Selatan. Saya sulit untuk menikmati wisata sejarahnya karena mereka yang tidak mau berlama-lama di sana, mereka lebih memilih berbelanja di Myong-do. Saya hanyalah minoritas dari ibu-ibu tersebut. Sedih rasanya mendengar, "Untuk apa ke museum? Tidak ada apa-apanya." Akhirnya di Gyeongbokgung hanya sebentar saja dan kunjungan ke National Folk Museum of Korea (Gungnip Minsok Bangmulgwan, 국립민속박물관) dibatalkan dengan jaya. Dan saat itu saya berjanji untuk kembali ke Korea dengan perjalanan ala ransel, di mana saya bisa menikmatinya hingga saya puas.

Di tengah pembicaraan, dr. Tena berkata, "Iya saya juga kemana pergi ke suatu tempat pasti saya mampir ke museum. Rada-rada gila juga aku. :)"

Saya pun mengiyakan. Penikmat museum memang "gila". Hehehehe....

2 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Waaa ... sama dong Hau. Elu di Semarang napa gak ke Museum MURI n Ronggowarsito? Di Jakarta juga. Bilang2 dong kalo mw k museum. Gue ajak ke semua museum di kota tua n Museum Gajah. :D

    BalasHapus
  2. Hehehe susah cin kalau sama banyak kepala dan apalagi ya itu pada males ke museum hahahaha... =P Pas kemarin di Jogja untungnya ada provokator lainnya juga si Kiki yang mau ke Affandi. Kita sampai mohon2 ke Affandinya untuk telat tutup 30 menit dari jadwal semua, demi menunggu kita yang baru pulang Hiperkes hehehe.

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: