Film "Soegija" ini merupakan salah satu film yang sangat saya tunggu. Mungkin ini timbul salah satunya karena saya sebagai penganut Katolik. Film-film Indonesia yang mengangkat Katolik sangat sedikit, dan mungkin saya sendiri tak pernah melihatnya kecuali FTV yang ramai jelang Natal. Terakhir saya menonton film Katolik, kalau tak salah "Lourdes". Jadi ini menjadi suatu euforia bagi saya.
Saya pun sebenarnya suka dengan sejarah. Suatu kisah yang menciptakan masa kini dan masa mendatang. Saya sangat suka mendengar kisah lampau. Apalagi tentang kehidupan seseorang yang mahsyur tentang apa yang ia perbuat dan pemikirannya. Suatu film biopik tentu menjadi suatu pilihan bagi saya.
Saya pun membela-bela untuk dapat mengajak ayah saya untuk ikut nonton, paling tidak saya tidak dilihat miris oleh penonton sebelah karena saya menonton sendirian. Saya membela-bela datang dari Menjalin untuk segera menonton ini (saya ingat sekali bahwa film karya Garin ini akan premiere 7 Juni kemarin). Saya membela-bela datang dulu ke mal pada siang hari untuk membeli tiket, dan alamak saya mendapati film untuk malam ini sudah setengah penuh. Saya pun bergegas ke Gramedia untuk membeli bahan bacaan yang dapat menjadi modal saya mencerna film ini, karena konon dari review yang ada, film ini cukup dalam dan harus memutar otak. Saya pun akhirnya mendapatkan buku Kilasan Kisah Soegijapranata oleh G. Budi Subanar SJ. Dari buku lain Romo Banar mengenai Mgr. Albertus Soegijapranata SJ juga akar dari Soegija ini.
Dari Sisi Film
Kesan yang saya dapatkan bahwa memang film ini ternyata cukup datar. Terlalu datar bahkan. Sedikit sekali suara tembakan atau dentuman bom (karena film dilatarkan masa perang sekitar 1 Agustus 1940 sejak pengangkatan Romo Soegija menjadi uskup di Vikariat Apostolik Semarang hingga Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda 27 Desember 1949). Sedikit sekali teriakan dan riuh rendah orang, padahal ratusan lebih figuran hadir. Mungkin ini suasana yang ingin dibawa oleh Garin, ingin mengambarkan susana dan citra Romo Kanjeng yang diam dan diplomatis.
Alur cerita pun memaksa saya untuk mengingat kembali pelajaran-pelajaran sejarah yang selama SD hingga SMA saya pelajari. Saya perlu merunut lagi tentang penjajahan Belanda, pendudukan Jepang di Indonesia dengan slogan "Jepang Saudara Asia" dan "Asia Rayanya" (Gerakan 3A, kalau tak salah?), kemudian pernyataan kemerdekaan pasca berakhirnya Perang Dunia II, pendudukan Belanda dan sekutu kembali di Indonesia (saya jadi gatal membuka lagi mengenai Marshall Plan, Republik Indonesia Serikat, Tan Malaka, Jenderal Soedirman, Perjanjian Linggarjati, Roem-Royen, hingga Konferensi Meja Bundar). Ingin sekali hasrat diri untuk membaca kembali sejarah di seputaran kemerdekaan Indonesia.
Dan film ini memperhatikan setiap detail, baik figuran, properti film, pemakaian lokasi, benar-benar katanya seperti suasana saat itu (maklum saya anak 80an hehehe), yang mengingatkan saya kembali ke film biopik Gie. Figurannya pun tak main-main, jika orang bule tetaplah bule. Bukan Indonesia yang dibule-bulekan. Saya pun tak heran kalau konon ini adalah film termahal Garin dengan nilai 12 M.
Dan yang membuat saya juga tak kalah takjub adalah sisi penggunaan bahasa. Semua begitu detail, bahasa Jawa, bahasa Indonesia, Latin, Jepang, bahasa Belanda, dan lainnya. Semua ditempatkan dengan apik dan layaknya saya melihat situasi asli, bukan film. Begitupula dengan music score yang digunakan, begitu bagusnya (Saya tak ragu kalau hasil garapan Djaduk Feriyanto).
Dari Sisi Pesan
Memang film datar dan cenderung "bisu" tanpa suasana yang hingar bingar. Tidak ada lautan emosi yang diaduk-aduk. Namun semua ini digarap dengan memberikan banyak pesan. Pesan yang menjadi buah pikir Soegija (karena banyak pesan ini berasal dari catatan harian Romo Soegija). Dan ternyata apa yang ingin disampaikan masih valid hingga saat ini. Walaupun di dalamnya ada beberapa pesan yang diselipkan Garin sebagai tambahan seperti pesan "Tionghoa yang selalu tertindas".
Banyak pesan yang ingin disampaikan, namun yang menjadi terutama bagi saya adalah ingin memperkenalkan Agama Katolik itu sendiri. Ini bukanlah katolisasi, namun hanya ingin menunjukkan saja bahwa inilah Katolik. Katolik yang selama ini tidak dikenal, atau sering dihubung-hubungkan dengan kebarat-baratan atau perang atau lainnya. Sama seperti dulu bahwa Katolik sering dianggap sama dengan orang penjajah. Namun degan kehadiran Romo Soegija, ia membawa pesan bahwa seorang Katolik Indonesia tetap harus 100% republik, mendukung sepenuh hati dan berjuang demi negara.
Pesan Soegija bahwa "Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya. Berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya" atau "Politikus itu harus punya mental politik. Tanpa itu, politikus jadi benalu buat negara" tentu masih sahih kalau kita kobarkan saat ini, menilik dengan apa yang terjadi saat ini.
Tentu Soegija bukan semata-mata menjadi permenungan bagi orang Katolik saja, namun juga sebuah kontemplasi universal untuk seluruh republik tanpa memandang sesiapa ia.
Sabtu, 09 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
silakan baca juga :
BalasHapushttp://politik.kompasiana.com/2012/06/09/sesudah-soegija/
Terima kasih atas tautannya :) Saya sudah membaca tulisan dari Bapak Lilik tsb :)
BalasHapusPertama, menonton film Soegija, ekspektasi kita dalam melihat film harus dirubah. Ini bukan film “cerita”, melainkan film yang sering disebut sebagai nonlinear narrative, disjointed narrative atau disrupted narrative. Artinya, kita tidak dapat melihat ini dengan kerunutan cerita secara linier, bahkan bisa dikatakan jika ekspektasi kita adalah “narasi konvensional”, dengan pengenalan masalah, masalah, klimaks dan anti klimaks, maka dapat dikatakan ekspektasi kita keliru. Film ini adalah sebuah film yang bisa dikatakan sebagai film “portrait”, mengungkap dimensi “event” dalam kemasan-kemasan pendek yang bermakna, “where events are portrayed out of chronological order”. Walaupun ada dimensi koronologisnya, namun itu jangan semata-mata memandangnya secara konvensional. Coba kita lihat, film ini ditutup dan diakhiri dengan “portrait” yang begitu memukau dan menyentuh.
BalasHapusKedua, menonton film Soegija, ekspektasi kita jangan berharap ini sebagai film “sejarah”. Ini semata-mata bukan film “mengenai sejarah” atau “biografis” semata, melainkan film yang sering disebut sebagai “sub-conjungtive history”. Artinya, ada sebuah telaah, pandangan, dan makna-makna yang seakan dirajut untuk mempercantik sebuah peristiwa sejarah, walaupun itu bersifat fiktif, namun kepentingannya menyuguhkan makna yang mendalam. Maka ini, bukan film mengenai “biografis Soegija”, melainkan sebuah kisah-kisah yang seakan merangkai figur Soegija, sebagai kisah-kisah kemanusiaan. Maka, ketika Garin, selaku sutradara memasukkan “anak-anak Papua” dalam film, tolong ini jangan dilihat sebagai “kesalahan film”, ini memang disengaja, untuk sebuah “petisi” publik yang ingin mengatakan “Tanah Papua” adalah Tanah Indonesia yang ikut andil mengisi kemerdekaan, dan tentu masih banyak lagi “petisi-petisi” yang diangkat, termasuk mengenai “Keistimewaan Yogyakarta”. “Sub-conjungtive history” ini dipadu dengan sebuah “narator” yang coba dihadirkan dengan tokoh “Pak Besut”. Dan, cara menghadirkannya pun, terasa apik , menyentuh. Menariknya, “narator” yang coba dihadirkan melalui tokoh “Pak Besut” ini, mencoba membingkai viewpoint dalam kontekstualitasnya yang digagas semacam sembrono parikeno, membincangkan apa saja yang sedang populer di kalangan masyarakat dalam semangat dan tawaran nilai-nilai kejawen yang kental. Melalui sapaan, "Nuwun paromiarso . . . ", narator ini, menjadi semacam penghubung antara “makna” kekinian dengan sebuah konstelasi zaman.
Ketiga, rasa-rasanya, dalam film Soegija ini, Garin ingin bermain dengan apa yang sering disebut sebagai omnibus film, package film, atau portmanteau film. Kita dapat melihat betapa dihadirkannya sosok Soegija sebagai "top-level" story-nya, kemudian ia coba lakukan a framing, terhadap sebuah "sub-stories", melalui Mariyem, Robert, Ling-Ling, Broto dan lain sebagainya. Maka, saya menyadari, betapa ada banyak tanggapan penonton yang cukup kebingungan dengan ini. Namun, inilah masanya intertextuality dalam sebuah film. Saya melihat, hal ini selayaknya seperti saya memasuki “museum”, ketika saya mencoba menelaah berbagai rajutan “portrait” dengan “labellingnya”. Labelling ini muncul dalam setiap ungkapan-ungakapan yang artistik, melalui kata-kata tokoh yang dihadirkan.
Keempat, terlepas dari berbagai kelemahan tehnis film, misalnya karakter pemain dan lain sebagainya, menonton film Soegija, perlulah ditempatkan dalam intertextuality. Maka, Garin seakan menggabungkan berbagai “feature film” dalam satu kesatuan Soegija. Bisa dikatakan ini sebuah anthology, “An anthology film is a fixed sequence of short subjects with a common theme”. Untuk itu, betapa sulitnya jika kita mengkaitkannya sebagai “dramaturgi” yang konvensional. Saat ini, masanya “garda depan” dalam film. Dan, film Soegija, tentu kita tempatkan dalam poststructuralist nya.