Sabtu, 16 Juni 2012

Udah Pane Bahasa Diri', Pak Dokter?

Kisah ini dimulai malam kemarin, ketika saya menjelang terlelap setelah bermain dengan iPad, saya mendengar tiba-tiba pintu rumah diketuk-ketuk. Ternyata ada orang ramai di luar rumah, tak pelak saya pun terkejut. Ada pun kata pertama yang terlontar di mulut saya, "Sae nang sakit? Ada urakng jantu'?". (Siapa yang sakit? Ada orang jatuh?) Laki-laki di depan pun menjawab, "Inak pak. Ada bayi kami nanak mao nangis satalah melahirkan barusan.". "Au pak. Tama' pak." (Ya pak, silakan masuk.)

Meja Praktik di Puskesmas :)


Dan tiba-tiba orang di sebelahnya bercetus, "Orang dayak-kah Pak Dokter? Kenapa bisa bahasa kami?". "Inak. Saya orang sobat (Istilah tionghoa dalam Dayak Kanayatn)." "Wah, udah pane bahasa diri' ya Pak Dokter?" (Sudah pandai bahasa kita ya Pak Dokter?) "Saya sudah 2 bulan di sini, sudah belajar sedikit-sedikit." Saya pun tersenyum simpul.

Saya pun menjadi tersadar akan suatu kelebihan yang saya miliki, belajar bahasa. Memang saya pun senang untuk belajar bahasa. Mungkin suatu hal yang paradoksal juga dengan saya yang cenderung introvert, hahaha. Namun saya semakin yakin ini bisa menjadi suatu plus bagi saya.

Penduduk yang kaget dengan saya yang berbahasa Dayak ini, bukan satu kali ini saja. Banyak yang bingung kalau saya berbahasa lokal. Hipotesa saya, rata-rata dokter PTT di Menjalin berasal dari luar Kalimantan Barat. Namun sebenarnya tidak juga, saya baru mengenal bahasa Dayak Kanayatn ini ketika saya bertugas di Menjalin.

Sebenarnya saya pun memiliki bingkai pikiran bahwa saya harus dapat mengenal bahasa lokal. Hal ini saya coba terapkan semenjak koas dulu. Seperti saat saya menjalani koas di Sukabumi, saya pun belajar sedikit bahasa Sunda. Dulu tujuan utamanya adalah memahami anamnesis pasien-dokter konsulen yang sering berbahasa Sunda. Dan lama-lama saya juga memahami bahwa dengan berbahasa lokal, kita lebih luwes dengan pasien.

Semakin luwes, inilah yang saya rasakan juga dengan pasien di Menjalin. Rata-rata mereka senang kalau mendengar kita berbahasa lokal, lebih akrab. Walaupun demikian biasanya saya hanya sebagai pembuka saja menggunakan bahasa lokal, karena saya sudah mulai pusing kepala kalau sudah menggunakan kosakata yang tidak saya ketahui. Hehehe, Pak Dokternya masih balajar uga'.

Dan kadang bahasa lokal ini juga menjadi satu-satunya jalan mewawancarai pasien, terutama pasien yang sudah lansia yang seringkali tidak fasih berbahasa Indonesia. Walaupun sebenarnya di Menjalin ini, tersebar juga bahasa Melayu, namun sepengamatan saya pada lansia-lansia yang bersuku Dayak juga tidak begitu fasih bahasa Melayu.

Jadi, sebenarnya ini sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Saya jadi belajar kearifan lokal, saya pun bisa meluweskan relasi dokter-pasien ini.

Pak Dokternyu udah pane sabebet bahasa diri'. Tapi masih nanak pane incakng bamotor koa. =D
(Pak Dokternya sudah pandai sedikit bahasa kita, tapi masih tidak pandai bawa motor :D) 

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: