Rabu, 13 Juni 2012

Saat Pasien Menghadap Bapa

Hari ini adalah hari yang cukup mengena di hati saya dan mungkin hari di mana seluruh dokter pun di dunia pun pernah mengingatnya. Hari di mana seorang dokter kehilangan seorang pasiennya untuk selamanya.

Ya, hari ini pasien yang saya rawat menghadap Bapa. Kami berusaha dalam keterbatasan, memang Puskesmas di daerah tidak selengkap rumah sakit, dan kami pun masih harus bergelut dengan pertimbangan sosioekonomi dan lainnya. Apa yang saya lakukan memang tak serta merta buku teks yang begitu lugasnya menyatakan pasien ini harus dirujuk dan lainnya.



Dengan pasien ini, memang nurani saya berasa berbeda dengan pasien sebelumnya. Saya merasakan sesuatu insting yang tak nyaman. Hati saya berkata lain. Pasien ini tak biasa. Badannya begitu terkulai, kurus tak berdaya. Berbicara pun payah. Saya melihat kakinya yang bengkak. Di pikiran saya sudah bermain-main, "Gagal ginjal kah? Gangguan imunologis? Malnutrisi berat? Gangguan jantung?".

Saya pun meminta untuk segera memasang jalur infus untuk keperluan nanti. Saya pun meminta keluarga untuk segera merujuk ke rumah sakit, namun keluarga meminta untuk esok pagi saja. Saya hanya bisa menjawab bahwa, kami berusaha sebaik yang kami bisa di sini, tetapi memang lebih baik dirujuk. Namun semua kembali ke pertimbangan keluarga.

Dan tak lama 2-3 jam kemudian, saya dipanggil. Salah satu keluarga itu datang dan berkata, "Dok, tampaknya dia sudah tidak ada." Seketika adrenalin saya pecah ke ubun-ubun. Saya langsung menyergap tas kecil saya dan memanggil bantuan perawat. Ketika saya tiba di bangsal, memang sudah tidak berdaya, tidak ada denyut nadi, pupil sudah sangat melebar. Saya mencoba resusitasi dan hasilnya tetap nihil. Dan inilah saya pertama kali menyatakan, "Bapak sudah tidak ada." Dan seketika hening.

Perasaan berkecamuk dalam benak saya, ketika saya berjalan ke rumah dinas. Saya bertanya-tanya mengapa, apa yang sebabkan ia meninggal? Dan seketika saya merasakan nurani saya. Saya mungkin sangat senang, bahwa pasien saya sembuh, membaik. Bagaimana bila pasien meninggal? Tak pelak saya mencoba mengoreksi diri dan mencoba menyerahkan pada Tuhan.

Namun saya mencoba berpikir lagi, dokter tetap harus profesional. Konon, empati yang harus ditunjukkan, bukan simpati, apalagi apatis. Namun perasaan ini tetap melayang-layang dengan beribu perkataan.

Saya pun sempat melakukan kilas balik, ketika dulu koas. Saya seperti sudah "biasa saja" dengan kematian pasien, kecuali resusitasi jantung paru saya yang pertama saat stase Penyakit Dalam. Namun perasaan ini kembali lagi mencuat.

Saya mencoba lagi untuk membela diri, inilah hidup manusia dengan dinamikanya, ada senang dan susah, ada hidup dan kelahiran. Dan inilah pekerjaan dokter dan petugas kesehatan yang mana manusia adalah "objek" ilmunya, dan seketika mereka menceburkan diri juga dalam dinamika manusia tersebut.

13 Juni 2012, 00:31 WIB
Setelah sehabis menemani Mas Pur mengantar jenazah pasien tersebut di Silung, Menjalin.

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: