Sekarang gw mau cerita dan sesuai dengan tema: kisah mahasiswa FK menuju cita-cita.
Hari ini, tanpa rencana, gw bersama beberapa rekan 2003 di FKUAJ, ya berdiskusi tentang sebuah profesi yang penuh riskan dan suka, kedokteran. Suka ketika berhasil membahagiakan pasien. Sedih bila sebuah yang fatal terjadi.
membahagiakan mereka yang membutuhkan
Ketika kata itu ada menjadi komitmen gw menjadi dokter. Entah mungkin di suatu saat komitmen itu akan goyah. Ketika gw semakin menyelami dunia kedokteran, dunia yang serba nggak pasti. Ketika masyarakat menuntut untuk AIDS disembuhkan. Ketika dokter gagal menangani seorang pasien kanker. Ketika dokter disanjung ketika berhasil melakukan operasi transplantasi wajah. Sebenarnya di mana posisi seorang dokter?
Gw sendiri mencari beberapa titik terang jalan. Sebuah pertanyaan yang selalu dipertanyakan oleh dr. Saito di Say Hello to Black Jack: "Apakah dokter itu sebenarnya?"
Entah karena gw mungkin kasih terlalu lugu dan bodoh memasuki dunia ini. Tapi gw percaya inilah proses menuju kehidupan.
Respekpasien semua bergantung pada kita sebagai dokternya. tanpa respek itu, kita hanya menjadi ganjalan bagi mereka. Dan kita tidak "membahagiakan mereka yang membutuhkan" kita malah "mengganggu".
Sebuah kisah yang dapat gw ambil hari ini tentang pasien di Pluit Dalam, Ny S. Penderita dengan keluhan tuberkulosa. Ini bukan kunjungan pertama, namun ini pertama buat gw. Memasuki lorong yang sempit. Saya yang gemuk ini pun harus masuk dengan berjalan miring seperti kepiting. Di dalamnya bukan ruang tamu atau ruang apalah yang pantas. Sebuah kamar mandi. Di dalam diri gw, prihatin. Di dalamnya terbaring Ny S dan suaminya. Kita banyak mendengar kisah-kisahnya, dari kisah penyesalan (namun berusaha tetap tegar) atas kesalahan, kisah 2,5 tahun berpindah terapi, kisah musibah yang terjadi hampir 1 tahun lalu, bahkan hingga bercerita tentang nyawa suaminya yang nyaris lewat dalam suatu kecelakaan. Tidak ada medis yang bekerja. Tidak. Kami tidak memberikan rifampizin ataupun isoniazid. Kami mendengar kisahnya.
Ketika pasien tersenyum melihat kami mau mendengar keluh kesahnya. Ketika kami memberikan nasihat medis sejauh yang kami dapat dari kuliah. Tak ada kami memberi suntikan atau auskultasi dengan stetoskop. Hanya kontrol dengan anamnesa. Ny S yang jauh lebih baik dari sbeelumnya. Melihat kesembuhan pasien adalah sebuah hadiah buat saya sendiri. Dari sbeelumnya tidak mau makan, kini dapat makan dan berjalan sejenak ke depan rumah.
Sebuah tugas dokter yang MENYEMBUHKAN, bukan MENGOBATI.
Hubungan yang terjalin dengan Ny S bukanlah sebuah ilmu kuliah. Bukanlah di dalam matakuliah di mana kamu bisa mendpat nilai A atau IP 4.00. Namun sebuah pengalaman yang berbuah kebahagiaan. Adakah dokter yang tidak bahagia dengan senyum pasiennya? Apakah tidak ada dokter yang bahgia dengan ucapan terima kasih dari pasien. Ketika ucapan terima kasih itu bukan berasal dari uang sejuta yang diterima, namun dari lubuk hati?
Menanami filosofi dalam diri memang bukan barang mudah.
0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:
Posting Komentar
Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: