Rabu, 26 Juli 2006

Persepsi Kegagalan Nadine Chandrawinata

Shrine Auditorium telah menjadi sebuah saksi baru dalam pemahkotaan ratu sejagat yang baru, Zuleyka Rivera dari Puerto Riko. Nadine Chandrawinata pulang tanpa membawa penghargaan dan tidak dapat mengikuti jejak Artika Sari Devi yang sempat merasakan peringkat 15 besar di ajang yang sama tahun lalu. Apakah benar Nadine membawa kehampaan?

Setidak ini yang terus saya lihat sore ini, di TV yang terus merus menayangkan infotainmen. Ya mau bagaimana lagi, daripada suntuk terus membaca diktat Biokimia II. Capek juga kan. Lalu melongok VCD Say Hello to Black Jack yang sudah habis ditonton. Ya buka TV aja semua channel hampir membicarakan Nadine Chandrawinata atau kalau nggak Jihan Fahira yang baru melahirkan (Anjrit, penting nggak sih berita begini? Jangan-jangan nanti istri saya ketika melahirkan juga dikejar wartawan... -_-). Kecuali Metro TV di Public Corner yang terus mencuap-cuap masalah kekeringan di musim kemarau. Biasalah tipikal Indonesia, baru sadar kalau ditampar.


Menyimak Nadine Chandrawinata mengingatkan saya saat Artika Sari Devi tahun lalu. Yang Artika Sari Devi lebih meriah karena ini adalah kali pertama Indonesia mengirimkan wakilnya ke Miss Universe setelah Alya Rohali yang akhirnya cuma sebagai tamu penunjang. Saya harp pengiriman Nadine harusnya adem ayem saja. Toh udah bisa beradaptasi saat pengiriman Artika.


Ternyata itu. SALAH besar! Perhelatan kali ini amat-sangat-supra-super seru. Bagaimana tidak pengiriman ini saat yang nggak tepat, RUU APP seperti diminta teriak-teriak untuk dihapus dan disahkan. RUU APP seharusnya yang gampangnya nggak usah diadakan. Toh tanpa RUU APP sebenarnya kedua gender akan senang, ayah senang, ibu pun riang.


Kemudian, diberitakan lagi Nadine yang kemampuannya dianggap amit-amit di internasional. Menyebutkan: Indonesia is a beautiful city. Kata empat huruf itu kian mencuat sampai masuk ke infotainmen (Saya sendiri aneh dengan infotainmen setiap frame walau kehidupan itu lebih dari 120 fps kehidupan orang dikorek-korek). Ya bagi orang-orang yang nggak mengerti, bacalah buku psikoanalisis Sigmund Freud. Manusia itu ada 3 hal: Id, Ego, dan Superego. Id itulah yang muncul dalam diri Nadine. Mungkin karena sedang depresi karena masyarakat negaranya bikin dia stress, muncullah kata yang nggak diharapkan. It's normal. Analisa yang sama mengenai kata-kata "Wie finden Sie ueber Tika Panggabean?" Ya, daripada: "Wie findest Sie ueber Tika Panggabean?"


Kegagalan Nadine sebenarnya sebelumnya-tidak-diprediksikan alias unpredictable. Bagaimana tidak Nadine selalu menduduki peringkat kelas kakap pada beberapa polling situs internasional seperti missosology, global beauties, dan lainnya. Ya, cukup mengangetkan.


Bahkan ada yang melempar umpatan seperti "Indonesia mengalami kemunduran di Miss Universe". Aneh. Aneh. Aneh. Miss Universe bukan ajang seperti Indonesia Open yang pemenangnya itu-itu-itu terus karena memang yang main dia terus. Bukan juga ajang seperti Indonesian Idol dimana yang buruk belum tentu jatuh. Ini adalah Miss Universe bung! Tahun lalu adalah Artika sekarang adalah Nadine. Artika berbeda dengan Nadine bukan? Bukan seperti Indonesian Open tadi, tahun ini Indonesia, tahun depan Indonesia karena yang main tahun ini Taufik, tahun depan Taufik. Orang yang sama. Miss Universe orangnya lain. Jadi jangan diperbandingkan. Toh sebenarnya sudah bangga kalau Nadine bisa pulang ke Indonesia dengan selamat sentosa.


Ngomong-ngomong soal pulang. Nah, tadi di infotainmen bersangkutan ada kelompok ibu-ibu yang sepertinya tidak suka atas pengiriman Nadine. "Saya senang kalau Nadine kalah dari Miss Universe." Senang? Kayaknya pas jaman P4 nggak belajar: "Menghargai karya orang lain". Jelas walau kata senang selalu dikonotasikan positif, dari intonasinya amat senang pada "kekalahan" bukan pada "subyek" yaitu Nadine. Aneh bin(ti) ajaib. Alasannya merusak moral bangsa. benarkah 220 juta jiwa bangsa ini rusak seketika (seperti hubungan arus pendek) akibat melihat Nadine menggunakan two-piecesnya? Masak hanya seperti itu saja langsung rusak moral? Ya anggaplah berpikir mesum atau imoral (bukan amoral) ketika melihat wanita berpakaian renang berlenggak-lenggok atas sampai "mimisan" (sebenarnya ini adalah mitos belaka dari Jepang). Ini normal. Terutama kalau yang menonton laki-laki (Kalau perempuan, abnormal). Apakah itu merusak moral. Ya anggapnya seperti ini: pasangan suami istri setelah bermesraan dengan fantasi-fantasinya, apakah itu merusak moral kedua pasangan itu? Kalau demikian, habislah moral SEMUA penghuni bumi.


Perlu direnungkan tidak?

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: