Sabtu, 01 Juli 2006

Kematian Pasien - Bagian 1

Adalah sebuah pengalaman buat saya. Seorang yang akan masuk ke dalam dunia penuh lika-liku pelik, dunia kedokteran.

Dunia kedokteran dibalik intrik-intrik yang tampaknya sudah lama menjalar, harus berkelut dengan manusia dan tak jarang dengan setitik nyawa. Nyawa hanya satu, sesuatu yang kian diperjuangkan, namun apakah hati nurani digunakan? Memperjuangkan nyawa pasien di tengah kritisnya hidup adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.

Saya kadang berpikir, ketika kita berjuang dengan nyawa dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Bila nyawa tak tertolong, kita akan membela diri dengan sebutan "Dokter Bukan TUhan". Jadi sebuah kebanggaan bisa menyelamatkan setitik nyawa itu.

Pengalaman nyata bertindak dengan kematian walau tak terjadi di depan saya. Adalah Susan, saya dan kawan-kawan baksos Cilincing (maaf saya jarang baksos lagi) berusaha untuk menyemangatinya, Betapa tidak, ia terkena kanker mammae (kanker payudara) yang sangat parah. Ketika kami menjenguknya, ia telah tidak dapat berpikir lagi, berbicara pun sulit. Sampai pada akhirnya teman saya bersepakat untuk membelikan boneka.

Sebuah boneka luba-lumba lucu berwarna biru, ini diputuskan karena dari abangnya, Susan tidak mempunyai boneka sejak kecil... Mudah-mudahan lumba-lumba kecil bisa membahagiakan dia. Walau tidak dapat terus, paling tidak ia sempat untuk merasakan bahagia.

Jum'at kemarin (30/6), kami bersepakat untuk menjenguknya di Rumah Sakit. Di depan ruang bangsal, kami melihat pemandangan yang sama sekali nggak enak. Tirai Susan tertutup rapat. Rapat. Ibunya terisak. memandang pemandangan yang... jauh.

Tak habis pikir apa yang terjadi? Tanpa ide. Dokter ko-ass menghampiri kami, dan membawa kabar duka. Susan telah tiada. Pulang ke Bapa. Salah satu teman saya, terdiam. Melihat ke kantung boneka yang dibawanya. Merenung. "Kenapa tidak kuberikan kemarin?"....

Diam. Saya terdiam. Suatu suasana gembira dengan tiba-tiba berujung duka. Betapa sesal saya berpikir. "Tuhan, tadi saya tersenyum kepada avbangnya dan ayahnya sebelum sampai di Bangsal" Bodohnya saya. Ayahnya terisak, saya tersenyum?!

Kami masuk ke dalam, menengok jasad tertidur berselimutkan kain putih. Ia telah tidur di samping ibunya yang menangis. Ia pergi. Tak lama kami berdoa, datangnya handai taulannya. Meratapi. Ratap. Ratapi. "Kau akan bertemu Yesus, sayangku" Semoga, Susan.

Ketika Kematian menjadi tantangan bagi gw. Akankah saya tegar di tengah kesedihan? Haruskah saya ikut meratap? Kepura-puraan?

Ah, sebuah tantangan (lagi) dalam jalanku menuju jalan kedokteran yang penuh kerikil....

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: