Selasa, 21 April 2009

Mengasihi Musuh?


Artikel ini bukan hasil asli tulisan saya. Namun saya kutip dari salah satu milis. Judul asli artikel ini adalah MENGASIHI MUSUH: URGENSI ATAU FANTASI? yang ditulis oleh Sdr. Eka Darmaputera. Saya ingin membagikan tulisan ini agar senantiasa mampu menjadi inspirasi yang mendalam bagi kebangunan rohani kita.

Referensi Alkitab Matius Bab 5 ayat 44 (Mat5:44)


εγω δε λεγω υμιν αγαπατε τους εχθρους υμων ευλογειτε τους καταρωμενους υμας καλως ποιειτε τους μισουντας υμας και προσευχεσθε υπερ των επηρεαζοντων υμας και διωκοντων υμας (Yunani)



But I say unto you, Love your enemies, bless them that curse you, do good to them that hate you, and pray for them which despitefully use you, and persecute you; (KJV)


Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.




"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Dari semua titah Yesus, tak ayal lagi, inilah perintah yang paling sulit dipraktikkan. Namanya saja musuh, lha kok mesti dikasihi. Aneh bin ajaib, bukan?

Banyak orang dengan serius, tulus dan jujur mengatakan, "Saya akui, perintah tersebut memang luhur dan mulia. Tapi bagaimana melaksanakannya?" Bagaimana mungkin mengasihi orang yang dengan sadar, sengaja, serta terencana, bermaksud mencelakakan kita?

Atau orang lalu bersikap seperti Nietzsche. Filsuf Jerman ini mengatakan, bahwa perintah "mengasihi musuh" adalah salah satu bukti nyata, betapa etika Kristen--seperti yang ingin ditekankannya--adalah etikanya orang yang berkepribadian lembek bagai bubur dan yang punya nyali melempem seperti kerupuk. Bukan etikanya orang yang tegar, tegap, dan perkasa. Etikanya para pecundang, bukan filsafat hidupnya para pemenang.

Orang-orang itu, kata Nietzsche, bila jujur, sebenarnya juga ingin membalas musuh-musuhnya. Siapa yang tidak?! Tapi sayang sekali, mereka tak punya keberanian. Hatinya kecil. Maka jadilah pengecut-pengecut itu, melalui perintah ini, menghibur diri sambil mencari pembenaran.

Walaupun alasannya berwarna-warni, suara terbanyak akan menyimpulkan, bahwa Yesus adalah pemimpi. Idealis yang tak peduli pada yang praktis. Sebab itu, begitu nasihat mereka, boleh saja ajaran-Nya Anda amini dan simpan baik-baik di dalam hati. Tapi Anda tak perlu repot-repot mencoba melaksanakannya. Karena ini hanya akan membuat Anda frustrasi.

Itu kata orang banyak. Namun saya mau berkata lain. Saya ingin mengatakan bahwa, teristimewa untuk dunia kita masa kini, perintah Yesus yang satu itu secara khusus justru menantang kita dengan urgensi dan relevansi baru. Kekerasan demi kekerasan nan tak kunjung henti di segenap belahan bumi, seharusnya mengingatkan kita betapa jalan kebencian yang kita lalui selama ini, akhirnya hanya punya satu ujung saja. Yakni kebinasaan dan kehancuran total
bagi semua.

Karenanya bila, seperti Nietzsche, kita mau menyelamatkan masa depan peradaban manusia, maka harus kita sadari, bahwa perintah "mengasihi musuh" adalah sebuah keharusan yang tak dapat tidak. Bukan sekadar fantasi indah seorang idealis atau etikanya para pecundang. Bahwa kasih, termasuk di sini mengasihi musuh, adalah satu-satunya kunci solusi bagi masalah-masalah besar yang membelit seluruh umat manusia dewasa ini. Dan bahwa Yesus bukanlah seorang idealis tanpa nilai praktis, melainkan justru seorang realis yang amat sangat praktis.

Ini tidak berarti bahwa Yesus menafikan kesulitan-kesulitan serius yang inheren terkandung di dalam perintah tersebut. O, jangan Anda samakan Yesus dengan pendeta-pendeta atau penginjil-penginjil yang dari belakang mimbar menggambarkan betapa perjalanan iman itu seolah-olah tanpa pergumulan, bahwa kehidupan itu tanpa beban, dan bahwa kekudusan itu begitu gampang. Tidak!

Yesus mengenal betul keterbatasan manusiawi serta dilema-dilemanya. Ia sendiri mengalaminya. Namun demikian, tanpa meremehkan kenyataan itu, Yesus benar-benar sangat serius dengan titah-Nya itu, kata demi kata. Dan Ia mau agar kita juga sama seriusnya dengan apa yang diperintahkan-Nya itu. Tugas kita, saudara, bukanlah melakukan studi kelayakan apakah perintah itu bisa dilaksanakan atau tidak. Tugas kita cuma ini memahami perintah itu dengan benar, lalu membulatkan tekad melaksanakannya. Titik.

* * *

Tapi, dalam praktik, bagaimana sih caranya mengasihi musuh? Apa sih yang mesti dan dapat kita lakukan?

Untuk mampu melaksanakan perintah ini, Anda pertama-tama perlu mengembangkan terus kemampuan dan terutama kemauan Anda dalam hal mengampuni. Orang tak mungkin mengasihi tanpa mau mengampuni. Dan selanjutnya yang mesti Anda sadari adalah, pengampunan selalu berarti mengampuni orang yang bersalah, khususnya orang yang telah melukai dan menyakiti Anda. Orang baik-baik tidak memerlukan pengampunan Anda. Begitu pula orang yang senantiasa menyenangkan hati Anda.

Astaga, mengampuni begitu saja orang yang telah melukai dan menyakiti kita?! Ini mungkin mengagetkan. Tapi memang tak ada pilihan lain. Pengampunan selalu merupakan bagian dari kewajiban si korban, bukan si pelaku. Yang berkewajiban mengampuni adalah pihak yang telah menjadi korban ketidakadilan, korban penindasan, korban penghisapan, korban kebencian, korban pengkhianatan, dan sebagainya.

Sedangkan para pelaku kejahatan berada di kutub yang satu lagi, yaitu dalam posisi perlu diampuni. Bukan mengampuni. Ini jelas dalam perumpamaan "Si Anak Hilang." Ketika si anak durhaka itu akhirnya tiba juga pada akal sehatnya, lalu dengan langkah tak pasti mengatasi rasa malu dan rasa takut ia menyusuri jalan kembali untuk mencari pengampunan, apa yang terjadi? Adalah orang yang paling ia salahi dan sakiti--sang Ayah!--merupakan satu-satunya orang yang dapat menyiramkan air sejuk pengampunan. Tak ada yang lain.

Pengampunan tidak berarti melupakan, apalagi mengabaikan, kejahatan yang pernah dilakukan. Samasekali tidak! Kejahatan tidak boleh dilupakan, dan memang tidak bisa. Pengampunan sejati justru hanya bisa hadir dan lahir dari tengah rasa pedih yang masih amat terasa. Tapi meskipun begitu, di tengah kepedihan dan sakit hati itu, yang bersangkutan dengan sadar dan sengaja, tidak membiarkan kepedihan itu memadamkan api kasihnya, serta meruntuhkan jembatan penghubung antarkeduanya.

Kepedihannya yang sangat juga tidak ia biarkan membunuh pengharapan dan peluang, bahwa pada satu saat--entah kapan--mereka akan dapat menjalin lagi sebuah awal baru dalam kebersamaan mereka. Jadi bukan "to forget and to forgive" atau "lupakan dan ampuni," tetapi justru "to remember and to forgive" atau "mengingat dan mengampuni"! Aku tidak melupakan kesakitan serta kepedihanku akibat perbuatanmu, itu tak mungkin, tapi aku dengan tulus bersedia mengampunimu. Aku tidak dapat membenarkan kejahatanmu, ini juga mustahil,
tetapi justru karena itu aku mengampunimu.

* * *

Bagaimana ini bisa terjadi? Tentu saja karena adanya kemauan yang kuat serta tekad yang bulat. Mengampuni seungguhnya bukanlah soal mampu atau tidak mampu, tetapi soal mau atau tidak mau. Kemauan yang kuat untuk mengampuni ini, pada gilirannya, akan amat terbantu bila ada kesadaran yang penuh, bahwa pada setiap orang selalu terdapat kejahatan maupun kebaikan.

Maksud saya, tak ada orang sepenuhnya baik dan seluruhnya jahat. Sejahat-jahatnya si musuh, ia pasti menyimpan kebaikan. Dan sebaik-baiknya diri kita, pasti ada kekurangan dan kesalahan di dalamnya. Setiap orang karenanya membutuhkan baik penerimaaan maupun pengampunan. Kita ataupun siapa saja. Implikasinya, bila Anda membutuhkan pengampunan dari orang lain, apakah Anda punya alasan yang sah bagi keengganan Anda mengampuni orang lain?

Mengampuni maupun mengasihi bukanlah soal getar rasa atau gejolak emosi. Bukan soal suka atau tidak suka. Tapi, sekali lagi, soal mau atau tidak mau. Sebab itu beruntunglah kita, karena Tuhan tidak memerintahkan kita untuk menyukai musuh kita.

Walaupun Tuhan sendiri, kita tahu, Ia tidak akan bisa memaksa siapa pun untuk menyukai orang yang tidak ia sukai. Tapi orang memang tidak harus terlebih dahulu menyukai seseorang, baru dapat menerima dan mengampuninya.

Ada satu lagi. Di atas saya katakan, bahwa tak seorang pun dapat memaksa Anda untuk mengampuni. Pengampunan itu mesti tulus, tanpa terpaksa. Namun demikian, Anda dapat "memaksa" diri Anda sendiri untuk mengampuni. Maksud saya, kemauan itu harus Anda kendalikan, bukan sebaliknya mengendalikan Anda.

Terlebih-lebih bila kita ingat, betapa negeri ini sudah tak punya banyak pilihan lagi, kecuali "rekonsiliasi sekarang" atau "hancur berkeping-keping kemudian." Secara individual kita tentu tak akan mampu mendamaikan seluruh negeri. Namun kita dapat mulai dengan mengusir kebencian, memadamkan dendam, dan menghadirkan damai di hati kita masing-masing. Ini arti dan dampaknya pasti besar sekali.

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: