Selasa, 09 Februari 2010

Belajar di FK: Apakah Saya Harus Tahu Segalanya?

Anak FK (baca: Mahasiswa Fakultas Kedokteran) seringkali dianggap cerdas, pintar, cenderung kutu buku, dan lain-lain-lainnya. Bukunya tebal-tebal. Itupun buku yang tak ada gambarnya. Begitu monoton dengan tulisan. Anak FK seringkali dianggap anak yang merupakan drum informasi. Ia tahu segalanya. Ya seperti dokter, yang seringkali diharapkan tahu segalanya, benar segalanya, dan zero tolerance.

Selama pendidikannya, terutama di preklinik, saya merasa diberikan begitu banyak informasi. Bukan banyak, tapi lebih banyak dari itu. Maka tak heran kuliah pun harus 160 SKS untuk sarjana, sedangkan prodi lain rata-rata 144 SKS. Segala ilmu dipelajari. Dari ilmu biomedik dasar, ilmu klinik dasar, hingga ilmu klinik terapan, termasuk pula ilmu kesehatan masyarakat. Banyak. Limpah ruah.

Walaupun ada yang mengatakan bahwa kita hanya menggunakan sepersekian otak kita. Tapi memang begitu banyak informasi yang akan didapatkan selama belajar di kedokteran.

Saya pun pernah melewatkan fase stres, tertekan selama di preklinik. Saya merasa harus membaca setiap titik dalam Sherwood (salah satu buku fisiologi-red). Saya merasa harus membaca detail-detail dalam berbagai buku. Tapi memang dasar saya, saya merasa kelenger. Celakanya, saya tidak punya kemampuan mengingat semua hal, termasuk segala detail.

Sampai suatu saat saya bertanya, apakah saya harus membaca semua? S-e-m-u-a? Apakah saya memang perlu mengingat lagi macam protein esensial? Apakah saya perlu mengingat semua otot yang menyusun tangan dengan segala macam longus dan brevisnya? Memang "perlu". Apakah kalau saya tidak paham semua maka saya akan (amit-amit) tidak lulus mata kuliah dan bisa saja ujung-ujungnya menjadi dokter yang gagal?

Ketika saya masuk ke koas, bekerja praktek lapangan di puskesmas, dan turun langsung ke dalam praktek kedokteran. Saya mulai menetapkan strategi, mempelajari yang saya anggap perlu. Karena dengan informasi ini akan lebih mudah untuk saya aplikasikan. Saya memahami patofisiologi appendisitis ketika saya berhadapan dengan pasien appendisitis, ketimbang saya harus menghapal di angan-angan. Dan lagipula, dalam transaksi kedokteran (hal yang terjadi akibat hubungan atau relasi dokter dan pasien) berjalan begitu lembut. Hingga yang saya anggap juga penting adalah kemampuan empati dengan pasien. Membangun komunikasi yang baik dengan pasien. Jadi, tidak melulu hanya soal ilmu. Dan terkadang kemampuan ilmu ini dapat saja menutupi kekurangan.

Saya memilih ini karena akan lebih mudah bagi saya untuk mengelola pengetahuan ini. Dengan praktek, maka ilmu akan lebih mudah. Salah satu konsulen saya pernah berkata: Di dalam masa pendidikan akan lebih sulit belajar dan menerima informasi, ketimbang ke dalam praktek sehari-hari hal ini akan lebih mudah.

Mengutip dari salah satu pemikiran rekan sejawat di blog Medscape: Suatu saat kita akan menemukan sendiri keseimbangan antara "mengetahui segalanya dengan "merasa tahu secukupnya dan tetap kompeten".
Part of the preclinical years, for me, involved striking a balance between knowing everything and knowing enough to feel competent. I would advise everyone to find that balance, although I'll admit it's easier said than done. You overshoot, and undershoot, and eventually you get it right.

Alex Folkl - Medscape

Terakhir, You can't always know everything.

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: