Bukan itu sebenarnya, yang saya pikirkan. Pikiran ini muncul ketika saya melihat ke jam tangan dan ternyata sudah saatnya melakukan pemeriksaan tanda vital semua pasien. Mulailah saya menenteng satu kantung tensimeter dengan stetoskop terkalung. Saya mulai dengan kebiasaan menyapa. Seperti biasa sang oma hanya terkulai. Ia sedang bersama anaknya, tebak saya, atau paling tidak menantunya. Sang wanita muda itu tengah menyuapi bubur kepada oma. Sebuah hal yang cukup miris, bagi saya, ketika wanita muda itu bertindak kasar padanya. Ia hanya menukas "Ma, ayo makan!" dengan nada tinggi. Caranya untuk meminta membuka mulut pun tak pantas. Begitupula ketika sang oma enggan memakan sesuatu.
Saya memang dalam posisi tak layak untuk berkomentar. Saya hanya dokter muda yang tengah ingin memeriksa. Tetapi dalam pikiran saya luluh lantak. Tak bisakah engkau sabar padanya? Tak bisakah engkau lembut padanya? Ia yang dulu merawatmu atau suamimu hingga dapat besar seperti ini. Tanpa dia, siapa engkau? Tanpa belas kasihnya, mungkin engkau tak di sini. Tanpa pantang menyerahnya menghadapi kerasnya hidup, mungkin engkau pun tak bisa seperti ini. Kalau ia menyerah merawatmu dulu, kamu takkan bisa hidup.
Ibu tak mengharap apa-apa, inilah yang pernah diucapkan oleh ibu saya. Tidak perlu harta mewah, tak perlu cincin permata disetiap hari jadinya. Ia dalam hati mungkin berkata, air susuku tak perlu dikembalikan. Begitu ikhlas! Namun tak layakkah hal ini untuk dibalas? Tak pantaskah kalau kita pun bersikap lembut dan pantang menyerah ketika ia sudah tak berdaya di masa tuanya. Dan yang terpenting adalah, buatlah ia percaya dan bangga bahwa benar kita adalah anaknya.
0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:
Posting Komentar
Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: