Sabtu, 13 Februari 2010

Perut yang Progresif

Ada sebuah anekdot. Ia menyebutkan bahwa: "Justru Dokter yang Sulit Menjaga Kesehatan Dirinya Sendiri". Entah benar atau salah, entah apakah ini adalah pembenaran sinistik, atau apa? Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa dokter pria memiliki kemungkinan 40% lebih tinggi dari risiko bunuh diri dibandingkan pria umumnya. Begitu pula, dokter wanita memiki kemungkinan risiko 140% lebih tinggi. (Center et al, 2003 dan Schernhammer et al, 2004), Mungkin gampangnya begini, dari jumlah 10 orang pria dari populasi umum yang bunuh diri, 14 orang dokter pria bunuh diri. Dan dari jumlah 10 orang wanita dari populasi umum, maka 24 orang dokter wanita bunuh diri. Mencengangkan?

Sudahlah itu soal bunuh diri-bunuh dirian. Mengenai kesehatan umumnya pun tak sedikit yang mengalami kesulitan. Kita ambil salah satu indikator antropometrik, IMT misalnya. Tak sedikit yang IMTnya overweight atau obese (saya?).

Ya, saya mengakui salah satunya saya. Perut yang melegenda sejak akhir-akhir pendidikan pre-klinik. Tak hanya "dipuji" oleh sesama sebaya, bahkan perut ini pun diketahui dosen dan pimpinan. Begitu hebohnyakah perut saya? Hahaha...

Saat saya lulus dari Kanisius, perut saya masih kisaran 70an kilo. Kini orang yang tengah mengetik tulisan ini berbobot 85 kg. 10an kilogram bertambah. Dalam statistik, mungkin ini standar deviasi yang jauh dibandingkan rerata bobot saya selama ini.

Perut yang siap diapapun (termasuk dibully). Keuntungannya, bisa menjadi probadus Leopold. Tingginya masih di antara processus xiphoideus os Sternum dan umbilikus. Ya, anggaplah 6-7 bulan kehamilan. Perut ini juga tergolong dalam bamilresti (bapak hamil resiko tinggi) yang perlu mendapat pelayanan antenatal hingga indikator K-8 (Kunjugan ke-delapan).

Perut ini pun sempat disindir, Perut IT. Ya salah satu dosen berkata: "Wah, Hau gemuk sekali. Mungkin gara-gara kebanyakan main komputer, duduk saja." Tak juga ada perkataan ilmiah, "Hau, Perut Saudara sangat progresif".

Boleh ditanya, bahwa tiada hari tanpa membicarakan sang perut. Bahkan ibu saya selalu (saya saja sampai bosen) mengingatkan: "Kalau bisa fitness, di sebelah kampus kan ada Celebrity Fitness." Saya masih mengingat dulu (2 tahun lalu?) bahwa ibu saya begitu gembira ketika mendengar bahwa fitness akan dibuka di sebelah kampus. Sayangnya harapannya masih tak tercapai. Karena, "Waduh koas kan sibuk....", tukas saya.

Saya sendiri masih membingungkan diri saya. Tilikan saya akan kegemukan ini, saya masih dalam tahap tilikan yang sadar sesadar-sadarnya, bahwa keadaan ini salah. Bahwa kondisi badan saya tak baik. Bahwa saya memiliki resiko tinggi pada penyakit jantung koroner, stroke, perlemakan hati.

Tapi perut ini kian membesar, karena lambung yang cepat mengosong (salah lambung sekarang?). Hahahaha....

Ya mudah-mudahan saja, setelah koas ini, perut dapat mengecil (optimis atau pesimis?)


0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: