Sabtu, 18 Juni 2011

Belajar Logika dan Sejarah dengan Berbahasa

Terkadang saya ditanyakan dengan orang-orang, mengapa saya suka dengan pengetahuan berbahasa. Yup, saya suka dengan bahasa. Paling tidak saya menguasai Bahasa Indonesia hingga tahap mahir, saya dapat menggunakannya hingga penulisan ilmiah. Bahasa Inggris saya, terus terang saja lebih bersifat pasif mendengar dan membaca, berbicara masih baik, namun yang terburuk adalah menulis. Bahasa lainnya saya pelajari hingga tahap dasar saja seperti Bahasa Mandarin, Bahasa Jerman. Saya pernah belajar bahasa lainnya, mulai dari Bahasa Latin, Jepang, namun kebanyakan saya sudah lupa >.<. Kini saya belajar bahasa Tagalog.

Saya sangat antusias belajar bahasa. Bila saya pergi ke tempat baru, saya berusaha untuk mempelajari bahasanya terlebih dahulu, misalnya seperti saya ke Thailand kemarin. (Saya hanya masih mengingat Sawadhee Krap/Kha!).

Sebenanrya, ini adalah hal yang sangat menyenangkan dalam belajar bahasa. Belajar bahasa artinya belajar berlogika dan belajar kebudayaan dasarnya. Seperti saya belajar bahasa Latin, bahasa yang dikatakan hampir mati, karena kini hanya digunakan di Tanah Suci Vatikan dalam berbahasa sedangkan dalam keilmuan digunakan sebagai istilah saja. Namun di dalamnya terkandung banyak nilai sejarah, apa yang terjadi dalam kehidupan Romawi dulu. Banyak sekali hal-hal yang dapat ditarik.

Bermain Logika

Selain itu logika juga turut bermain. Mungkin kita yang menguasai bahasa Indonesia, sudah terbiasa dengan logika berbahasa kita. Ketika berhadapan dengan bahasa Inggris menjadi merasa pusing. Mulai dari perubahan kata kerja menurut waktu dan segala tenses yang ada.

Ok, ini hanya dalam bahasa Inggris. Ketika saya masuk belajar bahasa Jerman di Goethe (karena saat itu ada rencana studi di Jerman, namun akhirnya gagal total =D). Saya terkaget dengan logika bahasa yang baru lagi. Mulai dari kata benda berjenis kelamin (maskulin, feminin, neutral),  macam-macam kata ganti (pronomen, akkusativ, kausativ, genetiv, dll), hingga logika dengan kata ehm... -saya lupa, kalau di bahasa Inggris disebut auxilliary verb-, yang harus menempatkan kata kerjanya bentuk pertama di paling belakang.

Belum lagi kini saya mempelajari Tagalog yang bisa menukar susunan kalimat dari SP (Subjek-predikat) menjadi PS (Predikat-subjek), tergantung dari seperti apa penekanan kalimatnya, seperti Si Budi ay mabait, bisa menjadi Mabait si Budi. Memusingkan, namun ini sangat menyenangkan. Kita bisa belajar logika mereka.

Budaya


Yang bisa dinikmati juga adalah mempelajari sisi budayanya. Hal ini bisa menjadi jembatan mempelajari latar historis, budaya tanpa berkunjung ke sana (Tapi tetap mau kalau bisa ke sana? :D ).

Misalnya saja dalam bahasa Indonesia, kita akan banyak menemukan kata serapan dari bahasa Belanda, Arab, China, Sanskrit, Jawa, Sunda, Melayu dan lainnya. Ini menandakan bahwa bangsa Indonesia melewati berbagai banyak hal saat perjalanan sejarahnya.

Selain itu kita bisa melihat relasi antar bahasa, misalnya setelah saya pelajari Bahasa Tagalog memiliki kedekatan dengan bahasa Indonesia, bahkan Bahasa Jawa. Mungkin memang karena ditelusuri, bahasa Tagalog dan bahasa Indonesia masih dalam satu keluarga bahasa. Misalnya saja angka dalam Bahasa Tagalog seperti isa, dalawa, tatlo, ampat, lima, anim, pito, walo, sayim, sampo. Mirip kan?

Suatu hal yang mengagumkan bukan?

Keinginan

Saya masih menginginkan belajar bahasa-bahasa lainnya, terutama bahasa yang tak biasa. Misalnya bahasa-bahasa besar Eropa (Italia, Perancis, Spanyol, Belanda) bahasa Yunani, bahasa Skandinavia, bahasa Rusia dengan huruf cyrillic-nya, bahasa Korea, dan lainnya. Karena ini semua membantu saya membuka dunia.

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: