Kamis, 22 Maret 2012

Tak Rela Meninggalkan

Meninggalkan sesuatu yang sudah lama bersama, memang menjadi sesuatu guratan tersendiri dalam pikiran saya. Dan inilah yang timbul tenggelam bersama lamunan dan melayang-layang dalam benak.

Dalam minggu lalu saya diterima sebagai dokter PTT setelah mendaftar di Kabupaten Landak di Kalimantan Barat. Pada saat itu memang saya campur aduk juga antara inilah suatu keinginan saya dan mungkin menjadi langkah saya dalam jenjang karir kedokteran, dan saya sudah berpasrah jika tidak diterima saya mungkin akan mengambil tawaran jalan-jalan ke Manila bersama Sisca dan Ica. (@Sisca dan Ica: Gusto ko sa Maynila pero meron ko ng PTT...). Dan memang saya diterima! Namun di sinilah dimulai 2 minggu penuh lamunan menjelang 2 April 2012, keberangkatan PTT.

Begitu banyak hal yang harus saya lakukan mulai dari berberes kamar (OK, kamar saya tak mungkin bisa dibereskan atau dikosongkan.), saya harus membereskan berbagai administrasi atas nama saya (Hal ini hanya bisa dilakukan jika ada replikasi dari diri saya, berharap jadi amoeba...), bertemu handai taulan yang akan saya tinggalkan (saya mungkin tidak akan bertemu mereka dalam setahun!), dan tentunya mempersiapkan peritilan yang akan dibawa bersama saya di kampung terpencil.

Saya sendiri terus menyemangati diri, mencoba membekali diri dengan semangat pengabdian. Saya merasa ini menjadi kesempatan bagi saya untuk mengaktualisasi diri, paling tidak juga sebagai tindak pertanggungjawaban  dengan apa yang saya tuliskan di Mengabdi di Bawah Sumpah di Intisari Ekstra lalu.

Satu hal sebenarnya yang begitu, entah mungkin bisa dikatakan mengena, bagi diri saya adalah saya berusaha menikmati detik-detik dan hembusan nafas yang ada yang saya bisa lihat sekarang ini. Misalnya ketika saya di malam hari dan memandang sekeliling kamar yang saya tempati di rumah tante. Kamar ini mungkin begitu bau, pengap, berantakan. Namun hidup saya juga banyak saya lewatkan. Kamar ini juga menjadi saksi mati yang hidup. Ketika saya melihat buku-buku saya, rasanya ingin sekali membawa mereka bersama.

Perasaan "tak rela meninggalkan" ini memang bukan sekali. Saya masih ingat dulu ketika saya harus berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan SMA. Saya begitu lama memandang kamar saya di Pontianak yang menurut saya waktu itu begitu nyaman. Saya juga memandang kamar saya di rumah tante saya yang lainnya yang saya tempati selama SMA dan tahun-tahun pertama kuliah.

Saya tahu, bahwa begitu tidak pentingnya hal ini. Walau demikian inilah yang terbesit dan terbisik merasuk sukma. Dan ketika saya melihat jam di dinding, waktu ternyata akan kembali menuju hari baru. Dan waktu keberangkatan itu semakin dekat dan jantungku semakin berdegup kencang.




2 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. jiaahh .. hau melupakan jalan2 k Karimunjawa .. huhuhu .. padahal sesama editor TDA gak pernah jalan2 bareng. Begitu cepatnya Oce n gue dilupakan .. (T^T). anyway, selamat mengabdi hauu!! Moga2 dapet jodoh di sana yoo .. :D

    BalasHapus
  2. Thanks cin :). Doa yang terakhir jangan yaaa... hehehehe

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: