Rabu, 22 Juli 2009

Hari Keduabelas Panum: Empati

Hari keduabelas kepaniteraan umum. Tidak terasa, sudah hari keduabelas. Apa artinya? Tinggallah sekitar sepuluhan hari lagi kepaniteraan umum ini berlangsung. Dan ujian OSCE semakin mendekat.

Hari ini berlangsung biasa saja hingga siang hari dengan kelas Pemeriksaan Mata dan Alloanamnesa Anak. Namun yang menarik perhatian saya adalah kelas Wawancara Psikiatri, yang dipandu oleh dr. Rusdi Maslim, SpKJ.

Sebuah kelas yang membuka mata saya, melihat sesuatu yang lebih dari yang sudah ada. Awalnya hanya dalam bentuk tanya jawab, meninjau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Banyak hal-hal yang sebenarnya mulai terbentuk kemarin dan kini bagi saya kembali memulai mencari bentuk. Anamnesa. Suatu hal yang sederhana. Suatu yang memulai deretan pemeriksaan, diagnosis, dan terapi. Sebagai pemula dari sebuah hubungan relasi dokter dan pasien.

Mungkin suatu hal yang sudah dihapalkan di luar kepala bak Indonesia Raya: Memberi salam, menyapa pasien, menanyakan identitas. Untuk apa? Agar pasien dapat merasa nyaman dalam proses terapinya. Kemudian apa lagi agar pasien dapat merasa nyaman? Hubungan yang ramah dan penuh empati. Bagaimana dengan empati itu?

Sebuah perspektif, bahwa kita bekerja melayani pasien. Dokter bukan bekerja demi kepuasan dirinya. Dalam anamnesa, dokter bukanlah interogator. Namun lebih kepada pemfasilitator. Pasien bukanlah alat yang kita amati senti demi senti dan mencari di mana penyakit bersarang. Namun kita memperlakukan pasien seperti diri kita. Apakah kita mau diperlakukan demikian pula?

Empati. Suatu rasa di mana seseorang bisa memahami perasaan orang lain, berkacamata dalam perspektif orang lain. Suatu definisi yang mudah dihapalkan, namun suatu hal yang cukup sukar dipraktikkan. Membangun rasa empati adalah sebuah tantangan bagi saya. Mengingat saya sendiri masih cukup lemah dalam hal seperti ini. Membangun rasa empati memang perlu dilakukan secara kontinu, bukan hanya sekedar dalam skills lab, namun pada setiap tempat dengan juga peningkatan kesadaran akan empati tersebut.

Apalagi dalam psikiatri, yang dimana wawancaranya sangat berfungsi untuk terapi, maka rasa empati ini harus lebih dikembangkan sehingga pasien merasa nyaman dan merasa terbantu dengan kehadiran kita.

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: