Jumat, 16 Agustus 2013

Backpacking Vietnam-Kamboja (6): Phnom Penh Bagian 1

Hari 6: 19 April 2013, Perjalanan HCMC-PP

Perjalanan dari Ho Chi Minh City ke Phnom Penh dengan bus sekitar 6-7 jam. Hal ini amat bergantung pada penyeberangan sungai dengan ferry di Sungai Mekong di Kamboja. Penyeberangannya mirip seperti penyeberangan Ketapang-Gilimanuk, jadi sangat tergantung dengan banyaknya kendaraan yang menyeberang.

Saya memilih bus Mekong Express (web), karena memang perusahaan ini yang direkomendasikan oleh teman-teman blogger dan Mrs Ngoc di guesthouse. Dengan perusahaan ini juga kita bisa langsung sekalian membeli juga tiket Phnom Penh ke Siem Reap. Agen di Ho Chi Minh City berada di deretan Pham Ngu Lao. Di bus ini disediakan juga 1 kotak snack dan 1 air botol ketika mau berangkat. Bus ini juga dilengkapi oleh pramugari/pramugara berbahasa Inggris yang akan membantu saat imigrasi dan kadang kala menjelaskan dimana lokasi kita sekarang. Yang tidak kalah penting juga, bus ini memiliki jaringan wi-fi mobile, namun hanya berlaku ketika masuk wilayah Kamboja.

Saya berangkat pukul 08:30, dijemput oleh pramugaranya di hostel sembari memberi salam perpisahan ke Mrs. Ngoc. Saat kita duduk, pramugari memberikan snack, minuman, dan kartu kedatangan yang perlu diisi. Mulai tampaklah Angkor Wat dan tulisan brahmik ulat-ulatnya.

Kam-bo-ja!

 Perjalanan berjalan terus hingga masuk ke imigrasi Moc Bai (Vietnam) dan Bavet (Kamboja). Suasana imigrasi saat itu amat ricuh, lebih ricuh dari imigrasi Entikong di Kalimantan Barat. Tidak ada keteraturan, mungkin oleh karena itu pramugarinya akan mengumpulkan semua paspor dan memanggil satu per satu ketika sudah dicap oleh pejabat imigrasi Vietnam.

Di Kamboja justru kita harus berbaris! Namun saya mendapat pengalaman yang kurang enak, yaitu barisan saya diminta uang 1 USD per orang. Rombongan turis Filipina di depan saya memberinya. Saya, yang belakangan, akhirnya memberikan saja karena tidak mau cari ribut juga.

Well, setelah keluar dari batas Bavet, akhirnya, selamat datang di Kamboja!

Lintas batas Bavet, Kamboja

Perjalanan di Kamboja mengingatkan saya pada negeri Indonesia. Dengan sawah di kanan dan kiri, rumah penduduk yang bervariasi, dan masyarakatnya yang agraris. Tengah menikmati, kami akhirnya berhenti sejenak untuk makan siang.

Saat makan siang, saya menemukan hal unik dari negeri ini. Di Kamboja, berlaku mata uang Riel dan USD, dan kadang kala Vietnam Dong juga diterima. Namun USD yang dipakai biasanya paling kecil 1 Dollar, di bawah itu kamu akan dikembalikan dalam bentuk Riel. Bahkan kita juga bisa mengombinasi Riel Kamboja (KHR) dan USD. Namun warga Kamboja lebih senang dengan USD, bahkan bayar tuktuk saja dengan USD. Jadi, perlu untuk membawa pecahan kecil USD.

Ilustrasinya:
1 USD saat itu kira-kira Rp 9.000,00
1  USD saat itu kira-kira 4.000 KHR
1 VND saat itu kira-kira Rp 21.000,00

Jadi kalau mau dihitung amat kasar, IDR ke VND dikali 2, sedangkan IDR ke VND dibagi 2.  

Oke, selesai dengan matematika. Pada perjalanan berikutnya, kami memang agak terhambat dengan keramaian kendaraan yang ingin menyeberang Sungai Mekong menuju Phnom Penh. Kami akhirnya tiba di Phnom Penh sekitar pukul 15 atau 16 di pangkalan Mekong Express. Untuk menuju hostel di daerah tengah Sisowath Quay, kami menggunakan tuktuk. Pembayaran dilakukan dengan kupon yang dibeli di Mekong Express, tarifnya ditentukan sesuai dengan radius daerah tujuan. Kami mendapatkan tarif 2 USD untuk ke hostel.

Pengendara tuktuk kami, Mr. Tha, menawarkan jasanya untuk mengantar kami berkeliling Phnom Penh esok. Ya, kami memang berencana menggunakan tuktuk juga. Akhirnya kami bersepakat 15 USD untuk berkeliling esok hari. Mr. Tha yang sudah cukup lanjut usia ini, ternyata memiliki bahasa Inggris yang cukup baik jika dibandingkan sebayanya di Vietnam yang memaksa kami juga menggunakan bahasa Tarzan hehehe....

Setibanya di Velkommen Guesthouse, kami segera mengepak barang, beristirahat sejenak dan malamnya menuju Phnom Penh Night Market yang tak jauh dari hostel. Selama perjalanan, kami melewati pesisiran Sisowath Quay yang merupakan waterfront-nya Phnom Penh di tepian Sungai Mekong. Saya takjub! Sangat rapi dan indah loh! Kota saya, Pontianak, saja sampai sekarang tidak karuan konsep waterfront-nya. Salut dengan Phnom Penh, kota yang baru mulai tumbuh setelah perang saudara dengan Khmer Merah.

Di Phnom Penh Night Market, kami berkeliling, makan malam, melihat souvenir dan baju, serta menikmati panggung hiburan yang tak satu katapun yang kami pahami artinya. Kami pun menutup hari ini dan bersiap untuk esok hari yang menakjubkan.

Sisowath Quay yang apik jali

Phnom Penh Night Market


Hari 7: 20 April 2013, Phnom Penh City Tour

Kami sudah berjanji dengan Mr. Than pada pukul 8 pagi. Kami langsung meluncur ke Wat Phnom. Ya seperti di Thailand, tempat yang berawalan "Wat" adalah kuil. Wat Phnom berjarak tak terlalu jauh dari  Sisowath Quay. Karena kita adalah orang asing, kita diwajibkan membeli tiket 1 USD per orang untuk masuk. Konon, kalau muka kita seperti lokal dan tidak tertangkap basah, bisa saja loh tidak membeli tiket. Tapi janganlah, orang Indonesia taat aturan bukan?

What Phnom

Asal-usul Wat Phnom tidak lepas dari cerita Daun Penh, seorang janda kaya yang menemukan patung Buddha di sebuah pohon, lalu membuat daerah itu menjadi tempat sembahyang. Pada tahun 1400-an akhirnya dibuatlah stupa di daerah situ yang disebut Wat Phnom (Phnom berarti bukit). Di sini juga asal-usul kata Phnom Penh yang artinya (Bukitnya Daun Penh).

Di Wat Phnom, kami berkeliling sejenak melihat arsitektur kuil penting di Phnom Penh ini. Walau tak semegah wat-wat di Thailand, namun Wat Phnom memiliki arti penting karena abu dari leluhur kerajaan juga disemayamkan di sini. 

Setelah dari Wat Phnom kami akan masuk ke dunia kelam dari sejarah Kamboja, yaitu masa-masa Khmer Merah. Kami akan mengunjungi lokasi pembantaian Choueng Ek. Lokasinya agak di pinggiran kota Phnom Penh dan dengan tuktuk, perjalanan memakan waktu sekitar 30-40 menit. Jalan menuju di sana amat berdebu, maka kami menggunakan masker mulut yang disiapkan. Hehehehe.....

Jadi Ninja sebentar :D

Phnom Penh yang sudah mulai tumbuh pencakar langitnya


Di setiap perjalanan kami menyadari bahwa tidak ada taksi di Phnom Penh. Serius. Dan taksinya adalah... tuktuk. Hehehehe....

Sesampainya di Choeung Ek, kami membayar 5 USD per orang sekaligus dengan audio tour. Sayangnya audio tournya tidak ada Bahasa Indonesia, yang ada adalah Bahasa Malaysia. Saya sendiri memilih Bahasa Inggris. Choeung Ek adalah sebuah padang besar dengan stupa tinggi berdiri di tengah-tengah. Stupa ini menjadi gambar wajib ketika membahas kekejaman Khmer Merah.

Saya ingin bercerita sedikit tentang Khmer Merah atau Khmer Rouge atau "Khmer Kraham" dalam bahasa Khmer. Khmer Merah adalah sebutan bagi pengikut dari Partai Komunis Kamboja. Partai ini menjadi partai pemerintah Kamboja pada tahun 1975-1979. Partai ini dipimpin oleh Saloth Sar yang lebih dikenal dengan nama Pol Pot. Partai ini melakukan reformasi tanah yang akhirnya membuat kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat, kerja paksa, kelaparan. Siapapun yang melawan atau bahkan banyak juga yang sebenarnya tidak melawan, akan disiksa, dipaksa, hingga dibunuh. Di Choeung Ek salah satu ladang pembataian mereka. Masa Khmer Merah kemudian berakhir setelah invasi Vietnam dan China membentuk negara boneka "Republik Rakyat Kamboja" pada 1979.

Dengan audio tour kita dibawa dalam reka ulang kejadian dengan dramatisasi, kita dapat merasakan bagaimana mereka diculik paksa dan dibawa dengan truk lalu disiksa dan dibunuh serta ada yang dikubur hidup-hidup. Ada juga pohon di mana bayi dibunuh dengan kepalanya dihempaskan ke batang pohon. Daun palma yang tajam yang digunakan untuk menggergaji leher. Kita juga masih dapat melihat serpihan-serpihan tulang bekas korban yang digusur. Ya, Choeung Ek adalah makam raksasa dari 8.000an jasad. 

Audio tour akan berakhir di stupa besar yang berisi tulang belulang dan 5000an tengkorak yang ditemukan. Setelah mengikuti audio tour kita juga bisa mengunjungi museum kecil yang digunakan untuk mengingatkan kembali masa-masa Khmer Merah.

Stupa di Choueng Ek


4 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Terima kasih atas sharenya, rencananya bulan depan kami juga bakal melakukan perjalanan ke kamboja. Ada beberapa pertanyaan yang mohon bantuannya, mata uang yang kebanyakan digunakan dollar us atau riel? apabila membawa dollar us yang berlaku disana seri apa dan kepala besar dll.. dibantu ya.. trims

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mbak Dewi :)

      Untuk pembayaran hotel, transportasi (bahkan termasuk tuktuk sekalipun :P), tur, tiket masuk tempat wisata, makan di rumah makan (selama di Phnom Penh, saya makan di daerah sekitaran Sisoqath Quay, daerah turis), dengan Dollar US. Riel kamboja saya pernah dapat di minimarket (misalnya beli air dll), tapi merekapun juga menerima dollar US.
      Dan untuk kembalian kecil (sen-senan, di bawah 1 Dollar), mereka menggunakan riel kamboja.
      Dulu kalau tak salah 1 USD = 4.000 riel kamboja.

      Untuk dollar yang berlaku, saya tidak begitu mengerti. Tetapi sepertnya selama masih berlaku dollarnya, maka mereka terima2 saja.

      Semoga sukses ya perjalanannya :) Kalau ke Phnom Penh jangan lupa mampir di Warung Bali dekat Cambodian National Museum hehehe.

      Hapus
  2. Thank Ko atas infonya,
    Kami 3 Hari 2 Malam terasa cukup banyak di phnom penh, harusnya lebih di perbanyak di ho chi minhnya..

    karena disana USD diterima sebagai mata uang ke 2, banyak dapat kembalian USD pecahan kecil n' kucel yang dibawa balik ke indo (jadi gak harga lagi kalo di indo).

    Sempet ngelewatin warung bali saat ngambil city tour by tuk - tuk, tapi aq ketemu ama ownnernya di russian market..

    ntar de, kalo uda kelar nulis di blog ku, aq share, suka duka ku disana..

    Trims

    BalasHapus
    Balasan
    1. Phnom Penh kalau untuk cepatnya sih satu hari cukup menurut saya, tapi 1 hari tambah untuk sedikit leyeh-leyeh di Sisowath Quay pasti menyenangkan juga hehehe… :) Ditunggu loh sharenya :)

      Hapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: